Koala Kumal (2016)

Cukup sering saya mendengar publik salah mengartikan "stagnansi" sebagai "signature". Metode akting beserta huruf peranan Johnny Depp sanggup dijadikan pola nyata. Sedangkan untuk perfilman dalam negeri karya-karya Raditya Dika berpotensi menjurus ke arah sana. Mendengar namanya, apa yang terlintas di pikiran orang tentu tak jauh dari banyolan lika-liku percintaan (baca: jomblo). Kita akan (selalu) menemukan sosok Dika sebagai protagonis yang sial soal urusan cinta, diejek alasannya tampang tidak ganteng serta postur badan pendek, hingga perpindahan mendadak menuju adegan abstrak selaku visualisasi sebuah joke. Mengingat Koala Kumal juga merupakan pembiasaan bukunya, apakah pasca peningkatan lewat Single Dika akan kembali jalan di tempat?

Seperti biasa, Dika berperan sebagai Dika sang penulis novel sukses namun tengah mengalami kebuntuan (sounds pretty much like "Manusia Setengah Salmon" right?) akhir hubungannya dengan Andrea (Acha Septriasa) kandas menjelang hari ijab kabul sehabis sang gadis berpaling pada James (Nino Fernandez). Setahun berselang, Dika belum juga sanggup move on, hingga pertemuannya dengan gadis "aneh" berjulukan Trisna (Sheryl Sheinafia) yang memintanya menghadiri program diskusi buku di book club-nya. Pertemanan mereka terus berlanjut tatkala Trisna memaksa ingin membantu Dika melupakan masa lalunya lewat rencana-rencana gila. Di sisi lain, Trisna turut menyimpan kenangan pahit akan kisah cintanya. 
Bicara soal lelucon, Koala Kumal nihil penyegaran dibanding karya-karya Dika lainnya. Mayoritas bukan humor jelek apalagi murahan, hanya saja semakin predictable akibat rasa familiar terhadap gaya Dika: absurd. That's the problem, because comedy is all about timing. Sewaktu penonton sudah sanggup menebak kapan apalagi bentuk niscaya sebuah humor, "daya bunuhnya" dipastikan berkurang. Belum tentu tidak lucu, namun butuh effort lebih besar guna memancing tawa. Senyuman hadir, tapi diiringi ujaran "I saw that one coming". Tidak sanggup dipungkiri beberapa adegan semisal "lemas otot" di penghujung film sanggup menciptakan saya tergelak, tapi lebih banyak didominasi humor akan terlupakan begitu keluar dari bioskop walau pada momen kemunculannya terasa menghibur.
Perubahan justru nampak pada gaya bercerita. Jelas berlebihan menyebut Koala Kumal sebagai sajian cukup umur apalagi kelam, tapi untuk standar Raditya Dika, ini ialah bentuk pendewasaan. Mengusung tema "merelakan", konflik karakternya bukan sekedar kegalauan mencari pacar. Pergumulan rasa mereka lebih kompleks akhir kesulitan takdir yang juga lebih berat. Perumpamaan (terlalu) gamblang teruntuk pesan utama melalui subplot maupun obrolan khas Dika tetap dipertahankan, dan hadir sedikit kedalaman emosi. Memang sedikit, tapi ada. Pemilihan konklusi untuk masing-masing huruf pun tepat mewakili pendewasaan tutur pula pesan yang coba disampaikan. 

Pendewasaan berarti pula timbul perjuangan menguatkan sisi dramatik yang mana membutuhkan akting kuat. Keberadaan Acha Septriasa menunjang kebutuhan tersebut. Baik huruf maupun performanya mungkin terkesan ringan jikalau dibanding beberapa output dramatic-nya belakangan, namun tak berarti dangkal. Still a solid performance, but Sheryl Sheinafia definitely stole the spotlight. Sosok eksentriknya bahkan sedari menit pertama selalu mempunyai magnet yang begitu berpengaruh menggaet perhatian untuk kemudian memancing tawa sekaligus kecintaan saya terhadap huruf Trisna. Pada kesannya penonton turut sanggup memahami alasan di balik tingkah laris unik Trisna dikala belakang layar mengenai dirinya terungkap. Sheryl Sheinafia feels like a giant meteorid flying at the speed of light through the atmosphere called "Indonesian movie industry". Tapi bagi Raditya Dika, Koala Kumal merupakan batas dan keengganan berkembang sehabis ini sanggup berpotensi kemunduran teratur. 

Belum ada Komentar untuk "Koala Kumal (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel