Dia Niscaya Tiba (2016)

Dia Pasti Datang sungguh telah menampar, menyadarkan bahwa selama ini persepsi saya akan standar film di bioskop sudah salah kaprah. Karena sebelum membicarakan tetek bengek kualitas, ada hal yang wajib diperhatikan. Hal ini amat mendasar, sehingga para filmmaker secara otomatis niscaya melakukannya tidak peduli ia menciptakan sajian komersil, arthouse, religi dan lain-lain. Hal fundamental yang saya maksud ialah MENYELESAIKAN FILMNYA! Karena bukankah mustahil sebuah film yang belum tuntas bakal dirilis di bioskop? Tidak mungkin kan? Iya kan? Ternyata Dia Pasti Datang mengajarkan saya satu lagi hal esensial dalam kehidupan, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, termasuk merilis film yang belum selesai. 

Mari membahas soal plot dahulu, alasannya ialah bicara perihal hal dasar, aspek satu ini termasuk basic utama pembuatan film. Masterpiece dari sutradara Steady Rimba ini berkisah perihal perempuan baik hati berjulukan Larasati (Amel Alvie). Begitu baik perempuan satu ini. Dia suka rela menghidupi, pula menjadi guru bagi bawah umur suatu panti asuhan. Larasati rutin menekankan kerajinan dan kemandirian, tapi nampaknya lupa bicara kesopanan. Saat mengajar, ia tak hanya menggunakan make-up super tebal, tapi juga baju ketat dengan kadangkala belahan dada terlihat. Dalam satu kesempatan ia mengajak bawah umur itu menonton pertunjukkan tari dimana ia ikut serta. Pertunjukkan itu menampilkan tiga perempuan berpakaian terbuka, menarikan gerakan seksi yang disambut tepuk tangan meriah serta canda tawa anak-anak. Mungkin Larasati tengah mengajarkan pubertas? Saya hanya dapat mengira-ira.
Iya, ini tidak mengecewakan ngeri
Singkatnya, Larasati dibunuh secara tidak sengaja oleh dua anak buah Daeng Karim (Guntur Triyoga), seorang camat muda sekaligus calon suaminya. Sungguh malang nasib perempuan baik hati ini, sesudah tewas, ia masih sempat diperkosa oleh dua orang tamu kehormatan Daeng Karim. Larasati tewas, menjadi hantu gentayangan yang berhasrat menuntut balas. Tapi hantu Larasati ternyata kurang cakap melaksanakan aksinya. Sebagai contoh, seorang laki-laki sudah ia serang menggunakan sebuah bambu, tapi tidak mati. Beberapa dikala kemudian serangan kembali terjadi. Pria itu terjatuh, muntah darah, kemudian diseret di sepanjang lantai, tapi tidak mati. Hingga jadinya laki-laki itu merasa bersalah dan menentukan bunuh diri padahal sepanjang film ia terus berujar ingin segera kabur alasannya ialah takut mati. 

Jelas naskahnya buruk. Dialognya bagai ditulis oleh dua orang yang tidak pernah sekalipun bertemu selama penulisan. Alhasil perbincangan antar-karakter sering tidak sinkron. Jika ada yang bertanya "kamu udah makan?" saya yakin lawan bicaranya bakal menjawab "kebun binatang". Karakternya menyerupai berkepribadian ganda. Satu waktu mereka berkata "ayo ikuti dia! Cuma beliau yang dapat kita percaya" tapi beberapa detik kemudian berujar "ngapain sih ngikutin orang ini?" Mungkin Steady Rimba yang merangkap penulis naskah ingin mengeksplorasi bagaimana rasa takut kuat pada sisi psikis seseorang. Memang benar. Saat ketakutan mendominasi, otak kita menjadi kacau, tidak dapat berpikir jernih, plin plan, bodoh, idiot, dapat juga lebay. Mirip dengan tokoh-tokoh di sini.
Lalu menyoal filmnya yang belum selesai, bunyi dalam Dia Pasti Datang sering mendadak hilang. Sungguh. Tanpa musik, tanpa ambience, total bisu. Sebelum tiba-tiba obrolan masuk secara paksa. Kaprikornus semisal ada kalimat "siapa orang itu?" maka yang terdengar ialah "pa orang itu?" Bukan sekali dua kali, hal ini terjadi puluhan kali. Lebih ajaib lagi, dubbing-nya sering tidak pas dengan gerak bibir pemain. Bahkan satu kalimat sempat terdengar dua kali, padahal bibir pemain sudah tampak mengucapkan hal berbeda. Saya pun terbayang pembicaraan yang terjadi di ruang editing film ini:

Sutradara: Gimana? Kelar semua?
Editor: Kelar. Lagi render nih
(rendering selesai, film diputar)
Sutradara: Lho, kok ini musiknya belom masuk?
Editor: Lupa bos. File sound-nya keselip.
Sutradara: Terus ini kenapa dialognya keulang?
Editor: Ribet bos, ngegeser-gesernya lagi.
Sutradara: Gimana ya...
Editor: Kalo diulang ribet, render-nya lama. Laptop juga boleh minjem
Sutradara: Yaudahlah, kagak perlu. Pilem kan gambar, bunyi belom kelar mah bodo amat
Editor: Nah, bener bos!
(keduanya tertawa ngakak, menyadari bahwa toh penonton masih akan tetap menghamburkan uang menonton unfinished movie mereka ini.)

Akhirnya Dia Pasti Datang dirilis paksa, alasannya ialah para pembuatnya tidak mempermasalahkan tata bunyi yang belum selesai, alasannya ialah toh gambarnya sudah. Mereka tidak menyadari bahwa di beberapa bagian, kawat untuk menarik pintu semoga tampak tertutup dengan sendirinya masih dapat dilihat dengan mata telanjang. Bahkan ada adegan ibu hamil meminta diantar ke rumah sakit, padahal terperinci dari pantulan beling mobil, ia sedang bangkit di depan IGD.  

Masih banyak aspek lain yang belum saya bahas, tapi alasannya ialah filmnya saja menyerupai belum selesai, review ini pun tidak saya tuntaskan. 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Dia Niscaya Tiba (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel