The Magnificent Seven (2016)
"The Magnificent Seven" versi 1960 remake "Seven Samurai" milik Akira Kurosawa garapan sutradara John Struges mengedepankan A-list actors pada masanya, sebutlah Yul Brynner, Charles Bronson, Steve McQueen hingga James Coburn. Sehingga, di samping kualitas yang memang mumpuni, melihat nama-nama besar di atas dalam satu frame jadi hiburan tersendiri. Lompat menuju 2016, remake dari remake yang disutradarai Antoine Fuqua ("Training Day", "Olympus Has Fallen", "The Equalizer") ini masih menggunakan pendekatan serupa. Denzel Washington, Chris Pratt, Ethan Hawke, Lee Byung-hun, Vincent D'Onofrio hingga Peter Sarsgaard mengisi jajaran cast kelas beratnya. Bukan saja kelas wahid, nama-nama tersebut turut berasal dari bermacam etnis.
Ethnic diversity kentara jadi fokus besar film ini. Tengok saja para anggota The Magnificent Seven: Sam Chisolm (Denzel Washington) si bounty hunter berkulit hitam, Josh Farraday (Chris Pratt) si penjudi kulit putih, Goodnight Robicheaux (Ethan Hawke) sang penembak jitu yang ditemani ajun asal Asia berjulukan Billy Rocks (Lee Byung-hun), Jack Horne (Vincent D'Onofrio) si laki-laki brutal, buronan asal Meksiko berjulukan Vasquez (Manuel Garcia-Rulfo) dan seorang native american, Red Harvest (Martin Sensmeier). Tujuannya jelas: pihak studio ingin mengesankan derma mereka terhadap persamaan hak, menolak rasisme atau whitewashing.
Coba mengikuti zaman, begitulah pendekatan yang dilakukan film ini termasuk dalam naskah karya Nic Pizzolatto dan Richard Wenk. Selain tokoh multiras, dongeng pun disesuaikan, bukan lagi pertempuran melawan cecunguk Meksiko menyerupai original-nya, atau pencarian "tanah baru" sebagaimana mayoritas western movie masa lampau, melainkan perlawanan terhadap laki-laki kulit putih kapitalis berjulukan Bartholomew Bogue (Peter Saarsgard). Bartholomew merebut Rose Creek, sebuah kota fiktif demi membangun tambang emas. Tidak hanya itu, ia membantai para warga pula mengkremasi Gereja. Putus asa, Emma Cullen (Haley Bennett) yang turut kehilangan sang suami meminta Sam membantu warga Rose Creek mempertahankan rumah mereka.
Berbagai treatment di atas menjanjikan kedalaman kisah, namun Pizzolatto dan Wenk sekedar berusaha melemparkan konsep tapi menggalinya lebih jauh. Hal tersebut terjadi pada abjad utama. Ketujuh tokoh punya potensi keunikan masing-masing baik kemampuan maupun kepribadian, termasuk yang dibawa oleh perbedaan etnis. Polanya terjadi berulang: satu tokoh diperkenalkan dengan menarik untuk lalu dilupakan, berakhir sebagai pengisi jumlah belaka. Mereka hanya maskot, wajah tanpa hati bagi upaya studio membangun image mengenai persamaan hak. Semakin parah alasannya penonton tak diberi kesempatan mengenal mereka dengan baik.
Sesungguhnya bila menengok setting waktu, cukup menarik menantikan kisah-kisah personal dari verbal para tokoh multiras tersebut. Sayang, hanya sekali itu terjadi, tatkala Goodnigt dan Sam mengenang masa kala keduanya tergabung dalam Uni dan Konfederasi dalam perang sipil. Sisanya sekedar interaksi filler ala kadarnya ketika naskah memaksa para tokoh terlibat dalam pembicaraan hampa tanpa sentuhan personal demi merekatkan jarak dengan penonton. Kita tidak pernah sepenuhnya mengenal apalagi peduli pada nasib mereka. Bahkan alasan mengapa beberapa tokoh direkrut dalam tim pun kurang jelas just look at Farraday and Red Harvest.
Akting para bintang film lebih dari cukup untuk menghalangi kebosanan. Chris Pratt (unsurprisingly) ialah penampil paling mencuri perhatian. He's lively and funny as always, and deserves to be the gang leader instead of Denzel Washington. Kondisi serupa menimpa bintang film lain khususnya Hawke, D'Onofrio dan Saarsgard. Goodnight bisa jadi sosok kompleks penuh problema, Horne berpotensi mencuat sebagai tokoh brutal nan aneh, dan Bogue takkan berakhir sebagai villain dua dimensi yang bagai rutin mengkonsumsi narkoba andai ketiganya diberi porsi memadahi untuk eksplorasi karakter.
Adegan agresi sejatinya well-made, tapi Fuqua kolam kekeringan imajinasi, hanya asal melontarkan ledakan dinamit atau desing peluru di sana sini. Tengok saja titik puncak yang diniati sebagai penebus pasca buildup selama kurang lebih 90 menit. Ketegangan sudah barang tentu urung hadir akhir nihilnya kepedulian penonton akan para tokoh, dan makin tak tertolong ketika Fuqua terlampau malas mengkreasi formasi sequence supaya tampak menarik, tak tahu cara memaksimalkan daya pikat tiap bintang film kala tengah beraksi Pratt with extreme coolness cocking his guns or Byung-hun expertly swinging his kinives. Final showdown yang semestinya merupakan puncak segalanya berakhir datar. Jangankan menyamai film klasiknya, untuk menghibur saja "The Magnificent Seven" gagal. Memang tidak semua hal butuh modernisasi.
Belum ada Komentar untuk "The Magnificent Seven (2016)"
Posting Komentar