London Love Story 2 (2017)

Sewaktu sebuah film romansa membentangkan sekuel, satu aspek yang wajib untuk diperhatikan yaitu perkembangan. Bagaimana dua sejoli tokoh utama tumbuh sejalan dengan waktu. Mereka mengalami pendewasaan, demikian pula konflik dalam hubungan keduanya. "Before Trilogy" dan "Bridget Jones  Trilogy" mengajarkan itu. Dari cinta anggun masa muda, menuju pernikahan, membentuk keluarga, hingga mempunyai anak. Bukan bermaksud membandingkan atau berharap "London Love Story 2" mencapai tingkatan dua seri tersebut, hanya memberi teladan gampang perihal ke mana semestinya sekuel film romansa bergerak. Alih-alih melangkah ke depan "London Love Story 2" justru berjalan mundur, menyebabkan tokoh-tokohnya semakin kekanak-kanakan. 

Setahun berlalu pasca Dave (Dimas Anggara) dan Caramel (Michelle Ziudith) kembali bersama. Kini keduanya hidup senang di London, tengah bersiap berlibur ke Swiss, kawasan di mana Sam (Ramzi) telah menjadi seorang DJ sukses. Jangan tanya bagaimana Sam mendadak yaitu DJ dan mengapa tak sekalipun film ini mengatakan dia bermusik, memainkan turntable. Kita tahu itu hanya alasan yang dikarang duo penulis naskah, Sukhdev Singh dan Tisa TS semoga filmnya sanggup menampilkan gambar indah pegunungan bersalju. Serupa produksi Screenplay lain, penonton bakal disuguhi misteri. Kali ini mengenai masa kemudian Caramel yang melibatkan chef bernama Gilang (Rizky Nazar). 
Screenplay punya dua jenis misteri. Pertama, yang melibatkan kedatangan twist tiba-tiba entah dari mana. Kedua, yang akan memancing tanya "untuk apa sok misterius, menyembunyikan fakta jikalau semenjak awal tanggapan sanggup dideteksi?". "London Love Story 2" masuk golongan kedua. Kejutan (tak mengejutkan) miliknya bertujuan mendramatisasi, seolah bait demi bait kalimat anggun berlebihan dari verbal Dave belum cukup dramatis. Ya, bukan film buatan Screenplay namanya jikalau karakternya urung berusaha bicara puitis hampir tiap menit, bukan tatkala merayu atau momen tertentu belaka, melainkan dalam tiap hembusan nafas yang menyuarakan kerinduan akan sosok malaikat kiriman Tuhan yang senantiasa membuatnya mendambakan keindahan berjulukan cinta. Hell, now I sound like Dave.

Padahal aku cukup menikmati saat para huruf berinteraksi biasa, menggunakan bahasa kasual layaknya insan normal. Bercanda, bersenda gurau, menjalin komunikasi yang nyaman dilihat. Ramzi luwes menjalani tugas  comic relief. Sejauh ini balutan komedi milik film-film Screenplay paling sukses bila dibebankan pada Ramzi. Michelle Ziudith menyeimbangkan cute factor dengan kekuatan akting dramatik, menandakan kapasitasnya sebagai aktris bertalenta andai tak terjebak dalam tontonan begini. Di antara dua lead actor, Rizky Nazar punya charm lebih dibanding Dimas Anggara. Bukan berarti Dimas buruk, tapi aktingnya kolam punya dua mode. Ketika normal dia bermain natural, namun kala "berpuisi" matanya selalu menerawang kosong ke depan bagai tengah menatap nirwana cinta yang entah mengapa selalu menusuk hatinya, menghujam jantungnya dengan belati pengkhianatan! 
Bicara soal development "jalan mundur" bagi kisah serta karakternya, "London Love Story 2" mengusung konflik childish yang sembunyi di balik kisah pendewasaan perihal masa kemudian dan proses merelakan. Daripada semakin tertempa, huruf film ini terasa menyerupai remaja awal kala mengalami cinta monyet, atau bocah manja yang mempermasalahkan masa kemudian pacarnya. Come on, mereka telah cukup usang tinggal jauh dari keluarga di luar negeri tapi meributkan hal macam ini? Keputusan merelakan yang karakternya ambil di tamat juga bukan hasil proses bertambahnya kedewasaan, melainkan alasannya yaitu terpaksa, tiada pilihan lain. 

Tentu "London Love Story 2" tetap dipersenjatai sinematografi menawan, bisa memanfaatkan setting luar negeri khususnya pegunungan bersalju di Swiss dengan baik. Begitu pula iringan musik megah karya Joseph S. Djafar yang mengharu biru, takkan sulit merenggut emosi penonton remaja. Ketiadaan alur kusut akhir ambisi tampil kompleks macam "Promise" pun membuatnya tak hingga menyakitkan diikuti. Mempertahankan segala template khas rumah produksinya yang hingga sekarang masih jadi formula efektif mengundang penonton, begitulah "London Love Story 2". Namun menengok fakta bahwa "Promise" ditonton "hanya" oleh sekitar 655.000 orang (capaian paling sedikit dari film garapan Screenplay") bisa jadi tak hanya saya, sasaran pasarnya pun mungkin mulai bosan dibuatnya. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

Belum ada Komentar untuk "London Love Story 2 (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel