Inferno (2016)

Mengusung konsep menarik berisi teka-teki yang mengundang rasa ingin tau sebelum kesannya mendatangkan rasa kecewa akhir tanggapan mengecewakan entah lantaran terlalu dipaksakan atau minim kreativitas sehingga terkesan malas. Begitulah kiranya penyakit umum film bertemakan riddle solving, tak terkecuali "Inferno". Merupakan penyesuaian ketiga dari novel Dan Brown sehabis "The Da Vinci Code" dan "Angels & Demons" serta masih disutradarai oleh Ron Howard, "Inferno" kembali mengajak penonton mengikuti petualangan Robert Langdon (Tom Hanks) berkeliling Eropa memecahkan simbol tersembunyi dalam karya-karya seni, bersinggungan dengan konspirasi global pengancam keselamatan umat manusia.

Langdon mendapati dirinya terbangun di sebuah rumah sakit di Florence, Italia dengan sebuah luka tembak di kepala. Luka tersebut menciptakan Langdon kehilangan ingatannya perihal kejadian dua hari terakhir, hingga ia pun lupa siapa pelaku penembakan, detail peristiwa, serta alasannya berada di Florence. Howard membuka kisah dengan solid. Bersenjatakan rangkaian hellish surreal imagery aneh nan mengerikan guna mengemas vision yang didapat Langdon, first act milik "Inferno" seolah mengatakan apa jadinya bila David Lynch menjual jiwanya pada setan kemudian beralih menciptakan modern blockbuster. Antusiasme saya melambung, bersemangat menanti kala teka-teki mulai dihadapi Langdon. 
Langdon kemudian mendapati kepemilikannya atas sebuah petunjuk menuju virus mematikan berjulukan Inferno yang diciptakan oleh Bertrand Zobrist (Ben Foster), seorang ilmuwan garis keras yang gres saja tewas bunuh diri beberapa hari sebelumnya. Zobrist mempunyai keyakinan bahwa aneka macam permasalahan dunia dikala ini disebabkan oleh populasi berlebihan manusia, dan berniat memakai Inferno untuk mengurangi setengah di antaranya. Petunjuk itu pula yang menciptakan Langdon bersama dokter yang merawatnya, Sienna Brooks (Felicity Jones), harus kabur dari kejaran aneka macam pihak mulai kedubes Amerika hingga WHO. 

Awalnya aktivitas memecahkan teka-teki berlangsung menarik hingga prosesnya terus diulang, berujung repetitif. Kita selalu diperlihatkan rutinitas berupa di mana beberapa abjad berdiri, mendiskusikan makna sebuah simbol, kemudian salah satu dari mereka mulai menyadari arti petunjuknya, membicarakannya panjang lebar dengan antusiasme plus tempo tinggi yang berfungsi memberi klarifikasi pada penonton namun berujung susah diikuti. Jawaban yang ditawarkan pun dipaksakan, asal mengaitkan aneka macam dot. Bisa diterima andai filmnya sadar akan kebodohan itu dan dipresentasikan sebagai brainless b-movie. But "Inferno" takes itself too seriously
Berdurasi 121 menit yang mana lebih pendek dibanding dua pendahulunya, "Inferno" tetap terasa melelahkan akhir pengulangan pakem di atas. Apalagi memasuki paruh kedua penceritaan, naskah David Koepp justru menanggalkan misterinya, dominan situasi Langdon dan Sienna berlari dari satu lokasi menuju lokasi berikutnya. Saya takkan terkejut bila mendadak "Inferno" terungkap sebagai sekuel diam-diam bagi "Forrest Gump" dengan usungan judul "Run Robert, Run". Di tengah aktivitas lari tersebut, Koepp menyelipkan beberapa twist yang lagi-lagi terkesan menggelikan dan hanya akan efektif bila film ini tidak menganggap dirinya terlalu serius. Salah satu twist yang melibatkan sosok Harry (Irrfan Khan) bahkan terlampau rumit, menciptakan Koepp nampak kewalahan menyuguhkan penjelasan.

Menjelang finale, film semakin membosankan, tapi alih-alih ditutup dengan menarik, "Inferno" hanya diisi titik puncak malas berupa lomba mencari keberadaan virus sembari disisipi sedikit ledakan dan agresi medioker. Sinematografi Salvatore Totino (the best aspect of this moviemasih setia menyajikan gambar memikat mata, menangkap kolam berwarna merah darah tatkala pengarahan Ron Howard gagal menjauhkan titik puncak film dari sederet action-thriller medioker di luar sana. Penampilan penuh kharisma Irrfan Khan menyenangkan diikuti, Tom Hanks pun masih mempunyai kepedulian untuk bermain maksimal terlebih dikala harus berurusan dengan rasa sakit yang Langdon alami (he looks convincing), tapi "Inferno" tetap berujung sebagai borefest.

Belum ada Komentar untuk "Inferno (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel