Wonderful Life (2016)
Dalam "Wonderful Life", Aqil (Sinyo) sang protagonis merupakan bocah pengidap disleksia, tapi filmnya tidak menempatkan gangguan berguru tersebut sebagai musuh utama, melainkan ketiadaan pemahaman terhadapnya. Amalia (Atiqah Hasiholan) ibunda Aqil menolak diagnosa psikolog, meyakini puteranya sanggup disembuhkan menyerupai penyakit pada umumnya. Sang ayah (Arthur Tobing) menganggap Amalia telah gagal sebagai seorang ibu lantaran Aqil tidak berprestasi gemilang di sekolah. Sedangkan gurunya (Putri Ayudya) kerap mempermasalahkan ketidakmampuan Aqil membaca dan menulis. Terdapat dua persamaan di antara mereka. Pertama, ketiganya sama-sama menganggap Aqil bermasalah.
Persamaan kedua berupa fakta bahwa mereka sosok terpelajar. Tapi kenapa para sosok berpendidikan ini kurang memahami bahkan cenderung enggan mengerti wacana disleksia? Semuanya kembali pada anggapan umum bahwa kepintaran anak diukur dari nilai yang didapat di kelas, berada di rangking berapa dia, juga sejauh mana penguasaan bahan akademis. Walau bocah menyerupai Aqil menonjol di bidang seni dan olahraga, menjadi percuma bila nilai di pelajaran menyerupai matematika jeblok. Diangkat dari novel karya Amalia Prabowo, "Wonderful Life" berhasil mengangkat informasi penting berupa sempitnya sudut pandang masyarakat soal pendidikan serta keengganan untuk mengerti apalagi mendapatkan suatu hal yang berbeda.
Amalia tetapkan membawa putera tunggalnya dalam sebuah perjalanan untuk mencari orang yang sanggup menyembuhkan kondisi Aqil. Namun timbul pertanyaan, apakah pencarian itu sepenuhnya demi sang anak atau sekedar pencarian ketenangan hati Amalia atas sesuatu yang sulit ia terima. Karena tidak hanya pihak psikolog, seorang guru di suatu padepokan dan mahir herbal selalu memberi tanggapan serupa; Aqil tidak sakit, hanya kurang istirahat, makan dan tertawa. Amalia tidak puas mendengar aneka macam tanggapan itu dan terus mencari bahkan hingga datang di daerah praktik dukun. Ironis mendapati perempuan cerdas dari kota dengan karir gemilang ini justru berpaling pada hal mistis.
"Wonderful Life" dipresentasikan dengan amat sederhana. Durasinya pun pendek, hanya 79 menit. Kesederhanaan itu justru menimbulkan filmnya tepat guna, tanpa melebarkan ruang lingkup penceritaan ke arah yang tak perlu. Naskah garapan Jenny Jusuf ("Filosofi Kopi") memang tanpa konflik rumit tetapi berpengaruh soal karakterisasi, di mana masing-masing punya peranan signifikan baik membantu pengembangan aksara lain maupun sebagai sarana Jenny menyuarakan kritiknya. Terdapat beberapa informasi bagi penonton mengenai disleksia, dan Jenny bisa mengemasnya biar tidak berakhir sebagai selipan asal masuk namun selaras, menyatu dengan cerita. Kekurangan terletak pada penyajian unsur road movie khususnya turning point tatkala aksara mengalami kejadian yang memberinya pelajaran hidup aspek penting sebuah road movie yang penyajiannya terlalu "biasa". Ya, tidak semua kesederhanaan membawa dampak kasatmata bagi film ini.
Sutradara debutan Agus Makkie terbukti cukup piawai bercerita, bisa menjaga pace perjalanan Aqil dan Amalia dengan baik serta cermat memformulasikan kadar serta timing curahan emosi, membuatnya terasa dinamis. Turut menguatkan suasana yakni scoring buatan Mc Anderson dan grup band asal Bandung, Bottlesmoker. Iringan musik mid hingga up-tempo tepat mewakili kesan feel good yang diusung. Sedangkan tata artistiknya beberapa kali memvisualkan gambar-gambar Aqil, tak hanya menambah estetika, pula memantik rasa kagum aku terhadap kemampuan bocah ini, walau suatu adegan berhiaskan animasi disajikan terlampau singkat, terlanjur berakhir sebelum sempat menggiring penonton menuju imaji penuh fantasi penuh warna sang protagonis.
Atiqah Hasiholan menyuguhkan salah satu akting terkuat tahun ini berkat keseimbangan antara lisan mikro beberapa tatapan skeptikal dan frustrasi terpendam dengan intensitas emosi tinggi. Momen ketika Amalia bertengkar dengan sang ayah kemudian berkata "Aqil nggak sakit Pak, kita yang sakit" yakni puncak pencapaian. Layaklah Atiqah mendapatkan nominasi aktris terbaik FFI 2016. Tapi sungguh aku terkejut sekaligus terpukau menyaksikan penampilan Sinyo. Aktor cilik ini menuturkan baris demi baris kalimat, bertingkah penuh semangat, hingga berteriak meluapkan amarah dengan begitu alami. Sinyo menciptakan kita semua gampang bersimpati pada Aqil, pencapaian luar biasa bagi bocah yang gres melaksanakan debut aktingnya.
Bagi Visinema Pictures, film ini memperpanjang winning streak studio ini (total 5 film telah diproduksi), mengambarkan walau tanpa keberadaan Angga Dwimas Sasongko di dingklik penyutradaraan pun, karya berkualitas tetap sanggup mereka ciptakan. "Wonderful Life" bukan saja solid, tapi ikut membawa pesan teramat penting. Filmnya tidak berusaha memusuhi disleksia, namun mengajak kita memahami bahwa perbedaan yang disebabkan bukan serta merta menciptakan si penderita lebih jelek dari orang "normal", bahwa prestasi akademis di sekolah bukan satu-satunya hal penting. This is one of the most important movie of the year for all of us (especially parents and teachers) to see.
Belum ada Komentar untuk "Wonderful Life (2016)"
Posting Komentar