Gerbang Neraka (2017)
Saya selalu mendukung keberanian sineas Indonesia mengeksplorasi genre yang jarang dijamah asal menggarapnya secara sungguh-sungguh dan akibatnya layak tonton. Kekurangan khususnya terkait teknologi tentu masuk akal mengingat kita masih merangkak. Justru sebab itu sumbangan perlu diberikan alih-alih bersikap apatis, menyatakan "tidak perlu coba-coba, kita belum setingkat Hollywood". Inferiority complex demikian yakni penghalang besar kemajuan industri perfilman, yang lucunya, sempat dibahas sekilas dalam Gerbang Neraka (sebelumnya berjudul Firegate), salah satu penemuan film tanah air paling sukses.
Robert Ronny selaku penulis naskah sekaligus produser memanfaatkan misteri situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat untuk menyebarkan jalinan petualangan dengan kesadaran penuh bahwa mengingat kulturnya, sains dan klenik bakal tetap beriringan eksistensinya. Maka masing-masing pihak punya perwakilan di sini. Arni Kumalasari (Julie Estelle) termasuk satu dari tim arkeolog yang ditugaskan Presiden meneliti situs Gunung Padang. Guntur Samudra (Dwi Sasono) yakni paranormal yang populer berkat program televisi. Sementara Tomo Gunadi (Reza Rahadian) berada di tengah, mantan wartawan kritis yang kini bekerja di tabloid mistis namun enggan mempercayai liputannya.
Awalnya, mereka bertiga saling berseberangan, sebelum rentetan simpulan hidup tidak masuk akal menghampiri Gunung Padang, memaksa ketiganya menyatukan ilmu masing-masing. Upaya Robert membaurkan dua sisi bertolak belakang memang kurang mulus dikala seiring waktu, presentasi scientific mulai keteteran, menyederhanakan unsur misteri yang berkaitan dekat dengan sejarah. Untungnya Gerbang Neraka enggan memaksakan tampil sok pintar, dan bahaya utamanya memang berasal dari sisi mistis, sehingga keputusan memberi bobot lebih ke sana merupakan kewajaran.
Pun gampang mencicipi kesungguhan bahkan mungkin kecintaan besar Robert terhadap cerita petualangan berbau arkeologi. Terpancar terang ketika serupa karakternya, Robert menggabungkan sekumpulan bahan sejarah konkret dengan fiksi imajinatif, menghadirkan proses cocok-mencocokkan yang meski kadang dilakukan seadanya, memberi modal penelusuran menarik bagi penonton, juga menghasilkan pembicaraan yang jauh dari kesan monoton. Serahkan pada Reza Rahadian untuk membuat tiap kalimat punya magnet, serta "menjual" momen sesederhana apapun berkat karisma luar biasa. Dwi Sasono lagi-lagi bisa menyeimbangkan ketenangan tutur dengan sisipan humor, meski sayangnya masih banyak penonton terpancing tawa di waktu yang keliru.
Memasuki paruh kedua, jalinan alur agak melemah, terjebak dalam contoh repetitif: penampakan berujung simpulan hidup tokoh di malam hari-penemuan jenazah di pagi hari-terjadi kehebohan. Di pertengahan durasi naskahnya bagai kehabisan wangsit eksplorasi walau tensi tak hingga menghilang ketika Rizal Mantovani bisa merangkai beberapa jump scare penggedor jantung. Ditambah lagi desain sosok Badurakh yang jauh meninggalkan kualitas tampilan hantu horor kebanyakan yang biasanya mengandalkan riasan pucat atau lensa kontak semata. Badurakh merupakan iblis yang layak ditakuti, dan Rizal Mantovani pun membuat karya terbaiknya selama beberapa tahun terakhir.
Third act-nya gagal mencapai titik titik puncak tertinggi tatkala bahaya justru menurun akhir rintangan ala kadarnya dalam piramid, pun beberapa jalinan janggal antar adegan. Obrolan Reza Rahadian dan Lukman Sardi sejatinya diisi konten yang berpotensi memprovokasi, tapi bagai kurang berani menyentuh tingkatan lebih tinggi. Di sinilah tata artistik penyusun set interior piramid memikat dan CGI meyakinkan buatan OrangeRoomCs (Demona, Jagoan Instan) menyelamatkan Gerbang Neraka. Mungkin salah satu pemanfaatan CGI paling efektif di film Indonesia sejauh ini, satu lagi alasan penting mengapa Gerbang Neraka perlu ditonton.
Belum ada Komentar untuk "Gerbang Neraka (2017)"
Posting Komentar