Amy (2015)

Sebuah tribute bagi kehidupan seorang tokoh tidak harus berbentuk glorifikasi, meski langkah tersebut akan mendatangkan respon nyata dari penggemar atau kerabat sang tokoh. Asif Kapadia yang sebelumnya meraih kesuksesan lewat "Senna" tidak ingin memposisikan filmnya sebagai cinta buta pada Amy Winehouse atau bentuk pembelaan atas banyak isu miring mengenai kehidupan eksklusif sang penyanyi. Kapadia menentukan untuk menampilkan Amy Winehouse apa adanya betapa berserakan hidupnya ketika adiksi narkoba, alkohol, serta bulimia mulai menggelayuti. Meski bertutur perihal perjalanan hidup seseorang, dokumenter tetaplah bentuk studi kasus. Dan sebagaimana layaknya studi kasus, sang peneliti atau dalam hal ini sutradara harus mempunyai perspektif subjektif menurut data yang terkumpul. Ketika Kapadia beranggapan bahwa Mitchell (ayah Amy) yaitu villain, itu tak masalah, mengingat "Amy" merupakan bentuk opini sang sutradara atas segala sisi kehidupan sang superstar.

Dokumenter ini tidak dikemas memakai gaya "talking head" menyerupai yang biasa digunakan. Kapadia melaksanakan lebih dari 100 wawancara pada sahabat, keluarga, serta kerabat lain dari Amy Winehouse, namun tak sekalipun kita dipertunjukkan momen interview. "Amy" seluruhnya berisikan footage, baik yang sudah maupun belum pernah dilihat publik. Terkadang ketika seorang interviewee bercerita akan suatu kejadian, footage-nya menampilkan momen yang dibicarakan atau yang berkaitan dengan itu. Penggunaan teknik ini bukannya tanpa tujuan. Pertama sebagai daya tarik visual, sebab "talking head" berpotensi membuat kebosanan, tak peduli semenarik apa konteks pembicaraan. Kedua untuk membangun keintiman penonton dengan Amy, sebab siapapun yang bicara kita selalu diperlihatkan wajah Amy. Beberapa arsip video sifatnya personal dan berasal dari rekaman eksklusif Amy, menyerupai ketika pada sebuah perayaan ulang tahun temannya dimana Amy gres berusia 14 tahun.
Berkat teknik di atas saya tak hanya mengetahui tapi juga menjalin keterikatan dengan Amy. Saya sendiri bukan penggemar Amy Winehouse, bahkan sanggup dibilang tak begitu tahu perihal detail kehidupannya, kecuali berkenaan dengan adiksi terhadap aneka macam jenis narkoba. Pada paruh awal, saya tidak merasa dokumenter ini spesial. Saya menikmati mendengar bunyi Amy yang luar biasa, dan menyenangkan rasanya melihat ke belakang disaat ia masih seorang berilmu balig cukup akal bertalenta tinggi yang hanya ingin menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk membuat musik. Mengasyikkan, tapi tak lebih dari itu. Namun seiring berjalannya durasi, aneka macam penelusuran tersebut secara tidak sadar membuat saya sudah terikat pada sosoknya. Begitu kehidupan Amy memasuki fase stardom, dinamika emosional turut bergejolak. Saya turut dibentuk hancur menyaksikan Amy yang awalnya tak pernah lepas dari senyum senang perlahan jatuh dalam depresi, narkoba, serta asmara destruktif.

Amy Winehouse was a fucked up person, dan filmnya tak berusaha menutupi itu. Amy memang nampak kacau, tapi disaat bersamaan penonton dibawa mengetahui bagaimana ia hingga ke tahap itu. Jika diperhatikan, kehidupan Amy banyak dikelilingi orang-orang kacau. Blake memperkenalkannya pada narkoba, sedangkan sang ayah tampak ingin mengeruk laba dari kesuksesan puterinya. Asif Kapadia mengajak penonton hingga pada kesimpulan bahwa Amy tak lebih dari gadis lemah yang terseret arus. Amy hanya berusaha mencari daerah berpijak, sebab itu ia cinta mati pada Blake. Dia hanya tidak beruntung, sebab sosok yang ia jadikan pegangan, dominan yaitu mereka yang turut menjerumuskannya. 
Dokumenter ini mempunyai porsi yang cukup untuk memberi penghormatan terhadap bakat Amy. Kita diperdengarkan bunyi emasnya. Beberapa lirik lagu pun kerap muncul di layar untuk menekankan kehebatannya merangkai kata. Alhasil ketika sebuah lagu dilantunkan, penonton sanggup mengagumi keindahan bunyi serta kejeniusannya bertutur dalam kata. Asif Kapadia memberi segala penghormatan itu namun tetap mempertahankan perspektif pribadinya akan tiap sisi kehidupan Amy. Hal ini penting sebab film terasa lebih tulus, lebih personal dan tidak hampa. Karena saya meyakini bahwa suatu hal yang murni berisi objektifitas (kalaupun ada) tidak lebih dari suatu textbook yang bertutur tanpa hati, tanpa emosi.

"Amy" juga cerminan kepalsuan dari sebuah stardom. Ada kepalsuan yang tiba dari kerabat Amy, begitu pula kebahagiaan palsu berupa uang berlimpah yang tidak banyak membantunya. Kebusukan media turut ditampilkan, dimana banyak televisi yang sering memakai kehidupan personal Amy sebagai materi lelucon. Semua itu tak sanggup dipungkiri ikut memperburuk kondisinya. Belum lagi jikalau membicarakan paparazzi yang "setia" membuntuti. Tapi salah satu momen paling menyakitkan yaitu ketika Amy dicemooh para (so called) fans dalam suatu konser. Ketika itu Amy naik panggung dalam kondisi kacau, tidak segera bernyanyi, bahkan kebingungan akan situasi yang terjadi. 

Para "fans sejati" tersebut kompak mencemooh, bahkan terdengar teriakan seseorang yang minta uangnya dikembalikan jikalau Amy tak juga bernyanyi. Momen itu mengatakan ketika fans yang semestinya memberi santunan justru memperlakukan idola mereka layaknya binatang tontonan. Saya tahu mereka membayar, tapi pemandangan itu tetap menyakitkan. Pada balasannya entah anda orang yang sama sekali abnormal atau (true) fans dari Amy Winehouse, dokumenter ini tidak hanya menjadi observasi mendalam tapi juga sajian emosional. Ada air mata haru melihat Amy memenangkan Grammy tahun 2008, hingga air mata sedih ketika badan tak bernyawanya dibawa keluar dari rumah dalam kantung jenazah. An amazing tribute for an amazing artist.

Belum ada Komentar untuk "Amy (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel