Aach...Aku Jatuh Cinta (2015): Kekacauan Puisi Cinta Yang Manis
Gombal dan norak. Dua kata tersebut paling pantas menggambarkan kisah cinta Rumi (Chicco Jerikho) dan Yulia (Pevita Pearce). Tapi apakah itu artinya film ini buruk? Untuk menjawab pertanyaan menyoal baik atau buruk, ingat-ingat lagi masa di mana kita jatuh cinta. Pernahkah anda berlagak kolam pujangga tersohor yang jago merangkai puisi cinta? Pernahkah anda mengirim ratusan baris rayuan manis pada sang kekasih? Saya yakin lebih banyak didominasi dari kita pernah. Jika diingat lagi, mungkin rangkaian kata itu bakal terdengar menjijikkan atau istilahnya lebay. Namun tidak demikian rasanya kala sedang dimabuk cinta. Seperempat periode semenjak "Cinta dalam Sepotong Roti", Garin Nugroho kembali menuturkan romansa dengan berbekal dua bintang pujaan anak muda. Seperti yang diungkapkan sang sutradara, lewat "Aach...Aku Jatuh Cinta" ia ingin bersenang-senang, menciptakan film ringan yang sanggup menjangkau lebih banyak penonton muda lewat tema percintaan serta ketenaran bintangnya. Tapi Garin tetaplah Garin. Ketika "bergombal ria" pun cirinya masih menonjol.
Narasi bergerak melintasi aneka macam era, mulai dari 70-an hingga 90-an. Rumi dan Yulia yakni teman sekaligus tetangga semenjak kecil yang berasal dari dua tipe keluarga yang berbeda. Saat keluarga Yulia hangat dan tenteram, ibu Rumi telah pergi meninggalkan rumah untuk menjadi penyanyi cafe alasannya tidak tahan dengan tindak kekerasan suaminya. Rumi menyukai Yulia sedari kecil dan terus berusaha mengambil perhatian sang gadis meski caranya sering keterlaluan (mengambil bra ketika latihan judo). Penonton diajak mengamati relasi Rumi dan Yulia bergerak melewati aneka macam masa diiringi perubahan kultur populer. Garin memang sengaja menempatkan pop culture sebagai sentral, menawarkan bagaimana musik, gaya rambut, fashion, hingga budaya pergaulan yang selalu berevolusi. Aspek-aspek di atas bukan sekedar tempelan. Filmnya bagai mengajak penonton bertamasya, dibawa oleh arus waktu yang tak henti berjalan. Segala sisi artistik mulai dari kostum, setting, properti, hingga lantunan musik digarap maksimal, memberi keindahan audiovisual warna-warni nan memikat.
Segalanya berubah kecuali rasa cinta serta relasi Rumi dan Yulia. Itu pula yang menghadirkan kebimbangan dalam hati masing-masing. Rumi selalu mengganggu Yulia untuk mencari perhatian tanpa pernah berani mengejar sang pujaan hati secara pasti. Sedangkan Yulia terus diingatkan oleh sang ibu untuk menjauh dari Rumi yang dikhawatirkan bakal memberi efek buruk. Yulia mencicipi cinta yang sama, tapi perilaku Rumi membuatnya tak pernah yakin. Satu yang pasti, mereka rutin bertukar kalimat puitis dalam pembicaraan. Kesan puitis hiperbolis dalam dialognya berpotensi menciptakan penonton jengah, menganggapnya norak atau berlebihan. Tapi menyerupai yang telah saya tuturkan, bukankah menyerupai itu tingkah muda-mudi dimabuk asmara? Lagi-lagi Garin masih Garin yang dalam komedi romantis menyerupai ini pun menolak bertutur secara ortodoks. Romansa Rumi dan Yulia bukan "straight love story", tapi lebih berupa visualisasi mood. Tidak aneh jikalau seluruh kalimat terdengar hiperbolis.
Sayang, pertunjukkan kisah cintanya tak hingga menciptakan saya tersentuh oleh romantisme. Efek dari cara bertutur unik tadi menciptakan romansanya terkesan jauh. Alurnya memang sebuah pemaparan realita yang tidak realis, jadi walau saya terpikat oleh pertukaran puisi yang dinamis itu, tak ada keterikatan secara rasa. Anehnya saya justru dibentuk meneteskan air mata bukan oleh narasi melainkan dari keindahan Garin mengemas beberapa adegan. Penggunaan musik retro mendayu mengiringi adegan slow-motion atau tarian penuh energi kebahagiaan berpadu mencipta keindahan mengharukan. Rasanya menyerupai jatuh cinta itu sendiri. Datang tiba-tiba tanpa alasan yang pasti, namun serta merta menyeruak tanpa bisa dibendung.
Aplikasi unsur teatrikal pastinya tetap kental menyerupai karya-karya Garin pada umumnya. Meski kuantitas long shot dengan kamera statis agak berkurang, adegan layaknya pertunjukkan panggung masih bertebaran. Dialog puitis penuh metafora pun cukup identik dengan tipikal naskah pertunjukkan teater. Salah satu adegan paling menarik dan memorable adalah ketika Yulia dan ibunya membawa pulang sebuah mesin jahit untuk kemudian bernyanyi, menari, sambil kedatangan satu per satu tamu laki-laki. Kentalnya nuansa teatrikal memaksa para pemeran untuk berakting layaknya di atas panggung. Mereka harus melaksanakan banyak gerak besar juga lisan "lantang". Saya masih terganggu dengan cara pelafalan Pevita yang terlalu scripted, meski harus diakui rentetan obrolan film ini punya tingkat kesulitan lebih. Tapi Chicco Jerikho menunjukan ia bisa melakukannya. Terdapat energi meluap untuk memunculkan sisi dinamis ketika ia bergerak penuh semangat dalam frame. Caranya mengucapkan obrolan pun natural.
Film ini punya judul internasional "Chaotic Love Poems". Melihat bagaimana progresi alur, terperinci nampak alasan pemilihan judul tersebut. Karakter Yulia turut berperan sebagai narator, membacakan perjalanan kisah cinta yang ia tuliskan dalam buku harian. Penonton ditempatkan dalam posisi menyerupai tengah mendengarkan Yulia membacakan isi buku harian miliknya. Pastinya mustahil catatan dalam buku harian tertulis secara runut menuturkan tiap detail kisah dalam semua penggalan waktu. Seperti itu pula Garin Nugroho mengemas alurnya, melompat liar, meninggalkan banyak lubang di dalam timeline cerita. Puisi cinta yang satu ini memang kacau, tapi kekacauan yang disengaja dan sesuai merepresentasikan posisinya sebagaimana prasasti sejarah. Sejarah drama romantika Rumi dan Yulia yang selalu meninggalkan pertanyaan misterius menyerupai kegelapan pada ending-nya. "Aach...Aku Jatuh Cinta" tak lain yakni perayaan terhadap cinta, waktu dan kultural termasuk seni.
Belum ada Komentar untuk "Aach...Aku Jatuh Cinta (2015): Kekacauan Puisi Cinta Yang Manis"
Posting Komentar