Court (2014)
Ada tiga hal yang menjadi pokok bahasan favorit aku dalam film; seksualitas, agama (bukan film religi) dan kebebasan berkarya/berpendapat. Jika sebuah film bisa mengeksekusi satu atau lebih tema di atas dengan baik, hampir bisa dipastikan menjadi tontonan favorit saya. "Court" yang memenangkan film terbaik pada jadwal Horizons di "Venice Film Festival 2014" serta merupakan perwakilan India untuk Oscar tahun depan ini punya salah satu tema tersebut, setidaknya sebagai penggerak menuju kisah utama. Seperti judulnya, film karya Chaitanya Tamhane ini yakni courtroom drama yang dibentuk untuk mengkritisi sistem peradilan aturan di India. Sebelumnya aku telah dibawa menelusuri rumitnya persidangan di Israel lewat "Gett: The Trial of Viviane Amsalem" (review), maka alangkah menariknya jikalau kali ini giliran India yang ditelisik. Dengan begitu akan tercipta konstruksi demi memahami lebih mendalam wacana cerminan sistem aturan dunia ketika ini.
Persidangan yang menjadi fokus film ini terjadi sehabis seorang penyanyi folk senior berjulukan Narayan Kamble (Vira Sathidar) mendadak ditangkap oleh polisi ketika berada di atas panggung. Kamble dianggap telah mendorong seorang laki-laki melaksanakan bunuh diri gara-gara lagu yang ia nyanyikan. Sepanjang film kita diajak mengikuti proses persidangan yang berlarut-larut bahkan hingga hitungan tahun. Dalam durasi 116 menit, Chaitanya Tamhane menghadirkan banyak gosip mengenai legal system di India, ibarat hakim yang lebih fokus untuk menuntaskan sebanyak mungkin masalah dalam sehari hingga penangkapan dengan tuduhan yang mengada-ada. Begitu banyak kritikan yang dibawakan dalam kemasan satir, tapi besarnya kuantitas tidak menciptakan alurnya terasa kepenuhan. Tamhane tahu persis cara untuk menyelipkan pemikirannya satu demi satu kedalam alur utama. Alhasil "Court" tidak pernah keluar jalur atau tidak fokus, alasannya yakni semua aspeknya masih terikat dalam satu jalinan cerita.
Meski kasusnya yakni sentral, tapi porsi kemunculan Narayan Kamble sangat minim. Tugas huruf ini memang hanya sebagai pemantik persoalan. Adegan ia bernyanyi di awal film bertujuan menginformasikan pada penonton bahwa lagu-lagunya banyak mengandung lirik mengenai kebebasan dan perilaku perlawanan. Sehingga ketika ia ditangkap, secara otomatis timbul perkiraan dalam benak penonton bahwa Narayan Kamble ditangkap alasannya yakni dianggap terlalu vokal menyuarakan kritik terhadap penguasa (baca: pemerintah). Setelah perkiraan itu muncul, gampang bagi film ini menciptakan penonton mencerna sekaligus menyetujui kritik yang dilontarkan Tamhane. Cara cerdik itu memang berhasil. Sepanjang film emosi aku dibentuk bergejolak mengikuti "komedi persidangan " yang tersaji. Tujuan lain dipinggirkannya Kamble yakni untuk menghindarkan kesan bahwa film ini berkisah wacana "seniman yang difitnah". Itu hanya latar, sedangkan poin utamanya yakni sistem peradilan beserta tiap sisinya secara menyeluruh.
Kesan bahwa "Court" bukan film wacana Kamble semata nampak terang dari beberapa momen sempilan yang muncul. Beberapa adegan memberikan persidangan lain secara singkat namun efektif sebagai penguat kritik. Salah satu adegan paling memorable sekaligus kocak yakni ketika persidangan suatu masalah dibatalkan (hanya) alasannya yakni seorang perempuan yang menjadi terdakwa tiba menggunakan pakaian tanpa lengan. Hakim merasa penampilan sang perempuan tidak sopan. Selain itu, kita turut dibawa dalam observasi terhadap keseharian Vinay Vora (Vivek Gomber) dan Nutan (Geetanjali Kulkarni). Vinay yakni pengacara dari Kamble, dimana ia digambarkan sebagai salah seorang tokoh yang peduli terhadap buruknya sistem aturan di India. Dia begitu peduli pada mereka yang tak menerima keadilan. Sebaliknya, Nutan yakni jaksa penuntut umum yang nampak begitu bersemangat ingin menjebloskan Kamble dalam kurungan penjara 20 tahun. Selama proses persidangan, Vinay yakni "si baik" sedangkan Nutan tentu "si jahat". Tapi benarkah?
Persepsi tersebut bergeser ketika penonton mulai memahami sisi lain mereka ketika tidak berperan sebagai "penegak hukum". Vinay berasa dari keluarga kaya. Sebuah adegan memberikan ia sedang makan bersama orang tuanya dimana Vinay sering bersikap bernafsu pada mereka dan tak sedikitpun nampak rasa hormat. Sebaliknya, Nutan yakni ibu yang amat perhatian pada anak-anaknya, dan meski sudah seharian bekerja masih bersedia mengembangkan makan malam di rumah untuk kemudian lanjut bekerja lagi. Chaitanya Tamhane tampak tidak mau penonton memberi cap "baik" dan "buruk" pada karakter. Karena kebaikan dan keburukan yang ingin ia sampaikan bukanlah terkait sosok personal, melainkan sistem itu sendiri. Dengan adanya sistem yang lebih baik, bisa jadi Nutan tidak akan tampak jahat, sedangkan Vinay tak memiliki hal apapun untuk dibela sebagai aktivis. Mereka hanya berperan dibalik topengnya masing-masing.
Sayangnya "Court" punya kekurangan pada caranya menutup kisah. Beberapa kali film terlihat akan berakhir dan memang sudah sempurna untuk diakhiri. Tepat, alasannya yakni dalam beberapa momen tersebut poin utama kisah sudah tersampaikan semua. Tapi Tamhane kurang bisa menahan diri untuk memberikan lebih dan lebih. Alhasil paruh simpulan terasa agak dragging. Epilog ketika Hakim Sadavarte (Pradeep Joshi) menghabiskan liburan isu terkini panas di taman rekreasi kemudian berakhir dengan "adegan tidur" itu memang kritik yang menggelitik, tapi bukan hal esensial. Cukup akhiri film ini ketika lampu persidangan mati seluruhnya, penonton telah memahami bagaimana masalah penuh ketidakadilan ibarat yang dialami Narayan Kamble bakal terus berulang (bahkan menimpa orang yang sama) hinga para penuntut (baca: penguasa) menerima yang mereka mau. Apa yang mereka mau? Bungkamnya mereka yang vokal mengkritisi itu.
Belum ada Komentar untuk "Court (2014)"
Posting Komentar