About A Woman (2014)

"About a Woman" yaitu epilog dari rangkaian trilogi tematik milik Teddy Soeriaatmadja. Seksuaitas, agama dan kemunafikan tetap menjadi benang merah yang menghubungkan film ini dengan "Lovely Man" dan "Something in the Way". Kali ini penonton giliran diajak mengamati kesepian seorang janda (sebut saja namanya "Ibu") berusia 65 tahun (Tutie Kirana) yang tinggal hanya bersama pembantunya. Rutinitasnya tiap hari selalu sama; berolahraga sejenak, minum teh, menjalankan solat, makan malam, menonton televisi, menuntaskan puzzle, kemudian kembali tidur sesudah minum obat. Puterinya, Laras (Anneke Jodi) telah mempunyai dua orang anak hasil pernikahannya dengan Bimo (Ringgo Agus Rahman), laki-laki yang bergotong-royong tak terlalu disukai oleh sang ibu. Suatu hari, pembantu Ibu mendadak tetapkan berhenti bekerja untuk pulang kampung. Merasa tidak tega melihat kesendirian ibunya, Laras dan Bimo mengirim Abi (Rendy Ahmad), keponakan Bimo yang gres lulus Sekolah Menengan Atas untuk bekerja sebagai pembantu.

Melalui abjad Ibu, Teddy coba mengeksplorasi sosok perempuan renta yang hidup dalam kesendirian. Salah satu aspek paling menonjol selaku akhir kesendirian/kesepian itu yaitu sosok Ibu yang dipenuhi sinisme dan prasangka negatif terhadap orang lain. Dia membenci menantunya, tidak puas akan jalan hidup pilihan puterinya, juga sulit mempercayai orang asing. Karena itulah ketika Abi pertama datang, Ibu menunjukkan perilaku antipati padanya. Melihat kehidupan tokoh Ibu, sifat-sifat tersebut amatlah wajar. Seperti biasa, Teddy mengalokasikan secara umum dikuasai durasi untuk observasi perlahan kepada detail keseharian karakter. Alur berjalan lambat, sunyi, minim obrolan pula iringan musik. Tentu ini dimaksudkan guna mewujudkan atmosfer serupa dengan yang dirasakan Ibu di dalam rumahnya. Kamera tak pernah sekalipun keluar dari setting rumah dan saya pun ikut mencicipi kesepian di dalamnya. Sampai seiring berjalannya waktu dan makin banyak Ibu merasa tertolong oleh Abi, kesunyian dalam rumah menjelma getaran seksual terpendam diantara keduanya.
Selaras dengan dua film sebelumnya, Teddy menunjukkan keberaniannya mengeksekusi gagasan tabu. Fokus utama yaitu ketertarikan hasrat antara dua manusia dengan jarak usia sangat jauh. Dua adegan masturbasi dimana salah satunya dilakukan oleh tokoh Ibu, kemudian beberapa momen dengan tensi sensualitas tinggi di tengah keheningan sudah cukup sebagai pondasi berpengaruh nan provokatif. Hanya lewat tatapan mata dalam kediaman karakternya, Teddy tetap bisa membangun atmosfer menyesakkan. Sedangkan tema agama disinggung ketika Ibu mengkritisi Laras yang tetap merokok meski telah memakai jilbab. Kita pun mengetahui bahwa sosok Ibu rajin menunaikan solat sebelum Teddy melontarkan provokasinya dengan suntikkan hasrat seksualitas pada si karakter. Saya selalu menyukai keberanian seorang sutradara menuturkan kontroversi ibarat yang dilakukan Teddy. Saya pun menyayangi pergerakan lambat alur yang dimaksudkan biar penonton paham betul akan kehidupan abjad pula perasaannya.

Tapi sayangnya "About a Woman" menjadi film terlemah diantara tiga karya independent seorang Teddy Soeriaatmadja. Pertama akhir Teddy "terlalu baik" dalam memberikan pesan lewat banyak penuturan verbal. Tidak perlu terjadi perbincangan panjang lebar antara Laras dengan sang ibu akan kepantasan seorang perempuan berjilbab merokok. Hanya menunjukkan Laras merokok saja akan muncul perdebatan dalam batin tiap penonton. Lagipula pada balasannya obrolan Ibu dan Laras tak memberi resolusi apapun, semua tetaplah di ranah abu-abu, sehingga perjuangan Teddy menggiring penonton menjadi pointless. Contoh lain juga berasal dari obrolan Ibu dengan Laras yang menyinggung mengenai kesepian. Tanpa Laras tekankan pun saya sudah tahu rumah itu begitu sepi yang merupakan perwakilan rasa tokoh Ibu. Jika tujuannya untuk memunculkan argumen "sendiri tak sama dengan kesepian", bukankah di momen selanjutnya Ibu kembali mengucapkan itu? Terjadi pengulangan yang tidak perlu. 
Saya mengkritisi poin tersebut sebab kesubtilan yaitu poin esensial dari arthouse dengan tipe semacam ini. Terlalu sering menuturkan pesan secara gamblang justru mengurangi kekuatan narasi. Padahal saya menyukai poin implisit lain ibarat keberadaan puzzle sebagai benda simbolik yang nantinya turut berperan besar pada kekuatan emosi ketika ending. Alasan kedua mengapa "About a Woman" jadi yang terlemah yaitu pattern yang terbaca. Jangan salah arthouse cinema bertemakan seksualitas pun mempunyai formula standar khususnya pada arah progresi alur serta timing kehadirannya. Penonton yang belum familiar mungkin tidak menyadari, tapi bagi yang sudah sering menonton film serupa niscaya sanggup menebak kapan tepatnya suatu momen bakal terjadi. Misalnya ketika Ibu terbangun di tengah malam dan melihat kamar Abi masih menyala lampunya. Praktis ditebak Abi tengah melaksanakan apa. Sebagai epilog trilogi, menonton film ini saya tidak bisa menghindari pedoman bahwa Teddy sudah "scraping the bottom of the barrel" dalam ekekusi alur.

Untungnya, film ini masih melanjutkan "tradisi" yang dibawa Teddy setidaknya sejak "Lovely Man", yaitu akting berpengaruh dari pemain utama. Dikala Teddy kehilangan kesubtilan bertutur, tidak begitu dengan akting Tutie Kirana. Tanpa harus bicara sepatah katapun, kita terang melihat adonan antara ketegasan seorang perempuan renta dengan kesepian mendalam. Kemudian sewaktu Abi datang, terciptalah transformasi dalam diri Ibu yang nampak kasatmata meski hanya melalui senyum simpul. Bahkan tatapan mata pun bisa diubah secara halus namun kentara perbedaannya. Siapa pula yang tidak sesak perasaannya melihat luapan emosi mendadak sang aktris ketika film berakhir? Tutie Kirana menjadi magnet yang berpengaruh menarik atensi saya dalam tiap keheningan adegan. Film ini tidak buruk dipadang dari segi manapun. Terasa minor hanya sebab dua pendahulunya yang memberi standar tinggi. "About a Woman" masih berakhir sebagai powerful drama.

Belum ada Komentar untuk "About A Woman (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel