The Girl In The Spider's Web (2018)

Rencana sekuel bagi The Girl with the Dragon Tattoo (2011) milik David Fincher dihapuskan, lantaran meski mengumpulkan lebih dari $232 juta di seluruh dunia, membuat lanjutan untuk thriller kriminal atmosferik bertempo lambat dengan durasi 158 menit dan biaya $90 juta (belum termasuk promosi), dianggap berisiko oleh Sony, yang mana—walau disayangkan—dapat dipahami. Fede Alvarez (Evil Dead, Don’t Breathe) pun menggantikan Fincher menggarap sekuel/soft-reboot yang lebih gampang diakses penonton umum, lebih singkat (117 menit), dan memakan biaya tak hingga separuh film pertama ($43 juta).

Lisbeth Salander pun mengalami perubahan. Dia bukan sekedar peretas ahli yang kerap terlibat dalam pemeriksaan misteri. Kini Lisbeth bagai Ethan Hunt atau James Bond, yang harus menyelamatkan dunia dari perjuangan sekelompok teroris mencuri arahan peluncur nuklir, memaksanya terlibat sabung jotos, sabung tembak, dan kebut-kebutan. Pun Claire Foy (dalam satu lagi performa mumpuni sesudah Unsane dan First Man) yaitu Lisbeth Salander yang tetap penyendiri namun lebih “bersahabat”, lebih sensitif, tidak sedingin dan seeksentrik versi Rooney Mara.

Pendekatan tersebut tak diragukan lebih gampang diterima penonton umum. Dikombinasikan dengan segelintir pemandangan menyakitkan yang cukup membuat kita meringis nyeri menyerupai ketika Lisbeth merekatkan luka ukiran peluru di punggungnya memakai lem atau—sebagaimana jamak digunakan para hero aksi—stapler, pula penerapan tempo cepat oleh Alvarez, The Girl in the Spider’s Web merupakan thriller yang bisa terus mengikat perhatian dan antusiasme penonton.

Mengadaptasi novel berjudul sama karya David Lagercrantz selaku buku keempat di seri Millenium sekaligus judul pertama di luar karangan Stieg Larsson yang meninggal pada 2004, anda bakal mendapati familiaritas plotnya dengan setumpuk thriller-kriminal lain. Lisbeth diminta mencuri Firefall—program yang memungkinkan pengguna mengakses arahan nuklir di seluruh dunia—dari National Security Agency (NSA) oleh pencipta programnya sendiri, Frans Balder (Stephen Merchant). Frans merasa, membuat Firefall yaitu kesalahan dan berniat menghancurkannya.

Lisbeth pun harus menghadapi banyak sekali pihak lantaran aksinya: Edwin Needham (Lakeith Stanfield), anggota NSA yang berniat merebut Firefall kembali; Swedish Secret Service (SAPO) yang sudah usang ingin menangkap Lisbeth; dan sindikat kriminal misterius berjulukan The Spiders. Dengan pihak sebanyak itu, yang masing-masing menyimpan kepentingan berbeda, belum termasuk kembalinya Mikael Blomkvist (Sverrir Gudnason) guna membantu Lisbeth memakai kemampuan jurnalisme investigasinya (yang gagal film ini manfaatkan) hingga eksplorasi masa kemudian Lisbeth, The Girl in the Spider’s Web bisa saja terbelit dalam kerumitannya sendiri, menyerupai banyak thriller-kriminal lain yang berusaha tampak berakal nan rumit tanpa dibarengi kebolehan bercerita.

Beruntung, itu tidak terjadi. Trio penulis naskahnya: Fede Alvarez, Jay Basu (The Dinosaur Project, Monsters: Dark Continent), dan Steven Knight (Locke, Allied), bisa mempertahankan kejelasan mengenai “siapa yaitu siapa” dan “siapa melaksanakan apa”. Sebagai sutradara, Alarez pun tahu kapan mesti berakselerasi, kapan mesti memperlambat laju untuk eksposisi dan eksplorasi plot. Sewaktu berakselerasi, filmnya sanggup memanfaatkan kecerdasan serta penguasaan teknologi abjad utamanya. Benar bahwa terlampau banyak momen “pelacakan lokasi”, namun sekalinya datang di lokasi, kita disuguhi sekuen menegangkan yang bakal memancing senyum penuh kepuasan, menyerupai ketika Lisbeth menembus sistem keamanan bandara.

Memang pemakaian teknologinya membuat The Girl in the Spider’s Web lebih over-the-top ketimbang pendahulunya, termasuk versi trilogi Swedia, yang mungkin membuat para puritan kebakaran jenggot. Sementara pengagum Fincher pun rasanya takkan “terangsang” kala mendapati atmosfer suramnya lenyap dan Stockholm tak lagi sedingin serta sesunyi sebelumnya. Tapi sebagai gantinya, film ini amat menghibur. Saya tidak keberatan duduk mengarungi beberapa agresi medioker berhiaskan quick cut memusingkan hanya untuk melihat Lisbeth Salander melempar trik demi trik untuk mengakali lawan-lawannya. Kalau bukan disebabkan sekuen agresi lemah dan pemakaian unsur kebetulan ndeso sebagai resolusi, saya akan mengasihi film ini.

Belum ada Komentar untuk "The Girl In The Spider's Web (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel