Thackeray (2019)

Karakter dalam Thackeray sungguh miskin motivasi, alasannya ialah karya terbaru Abhijit Panse (Rege) ini sibuk memberi glorifikasi terhadap radikalisme yang jadi akar usaha sang protagonis. Benar bahwa di satu sisi, filmnya enggan menutupi kontroversi terkait pendekatan ekstrim Bal Thackeray sang pendiri partai sayap kanan Shiv Sena. Tapi, ditulis naskahnya oleh Abhijit Panse selaku anggota Maharashtra Navnirman Sena (diketuai Raj Thackeray, keponakan Bal Thackeray) menurut kisah dari Sanjay Raut yang merupakan salah satu petinggi Shiv Sena, ketimbang objektivitas, justru santunan akan kekerasan yang terasa dari cara tutur “apa adanya” tersebut.

Naskahnya tak peduli soal penggalian sisi personal Bal Thackeray sebagai cara mempresentasikan motivasinya, lantaran tujuan filmnya sendiri murni surat cinta buta kalau tak mau disebut propaganda. Bayangkan film biografi “jujur” perihal Prabowo Subianto perihal sepak terjangnya semasa Orde Baru yang ditulis oleh Fadli Zon. Demikian kurang lebih cara kerja Thackeray.

Filmnya dibuka sebelum dilangsungkannya persidangan terhadap Bal Thackeray (Nawazuddin Siddiqui) yang dituduh terlibat dalam agresi kekerasan terhadap muslim di Bombay, termasuk perusakan sebuah masjid. Situainya kacau, di mana kita sanggup mendengar orang-orang beradu argumen mengenai Thackeray, menggambarkan betapa ia sosok kontroversial yang sanggup memecah publik menjadi dua kubu. Kemudian filmnya bergerak mundur ke selesai 1950-an, tatkala Thackeray masih bekerja sebagai pembuat karikatur bagi The Times of India.

Di sinilah mestinya dilakukan eksplorasi supaya penonton memahami, apa yang membentuk seorang Bal Thackeray. Sisi pemberontaknya memang nampak ketika menolak mematuhi perintah atasan untuk mengerem kritik pedasnya bagi kalangan politikus. Thackeray pun menentukan mundur, menawarkan bahwa sebagai individu, ia selalu berpegang teguh pada idealisme.

Melalui fase ini pula Abhijit Panse, dibantu penata kamera Sudeep Chatterjee yang berpengalaman menggarap judul-judul manis menyerupai Bajirao Mastani (2015) dan Padmaavat (2018), menerapkan beberapa pilihan visual menarik. Warna hitam-putih digunakan hingga separuh perjalanan, sambil sesekali terselip animasi bergaya karikatur. Sinematografinya sanggup memaksimalkan visual hitam-putihnya untuk menyajikan beberapa momen yang memanjakan mata.

Tapi selanjutnya, Thackeray seolah berasumsi seluruh penonton telah memahami konflik yang dituturkan. Bal Thackeray menerbitkan majalah sendiri yang ia beri nama Marmik (straight from the heart), kemudian mendirikan Shiv Sena dengan tujuan membela orang-orang Marathy yang menjadi korban opresi. Opresi macam apa? Filmnya urung menunjukkan secara pasti. Alurnya melompat dari satu problem ke problem lain tanpa citra latar yang jelas, dan itu terus-menerus terjadi, sehingga penonton awam pasti bakal semakin tersesat.

Thackeray jengah menyaksikan kaumnya diperlakukan tidak adil, namun itu belum cukup menjustifikasi langkah-langkah radikalnya. Eksplorasi lebih jauh wajib filmnya lakukan biar penonton memahami (tidak perlu hingga menyetujui) pilihan perilaku karakternya. Kegagalan tersebut turut menciptakan momen kontemplatif yang lebih lembut ketika Meena (Amrita Rao), istri Thackeray, mempertanyakan alasan orang-orang menganggap mereka jahat, padahal mereka hanya ingin menolong orang yang membutuhkan. Apa manusia-manusia ini lupa ketika pendukung fanatik Shiv Sena menghancurkan kota beserta toko-toko sementara Bal Thackeray sama sekali tak mengecam tindakan itu?

Setelah mencapai separuh jalan, Thackeray mulai bergerak lebih mulus dan mengajak kita sesekali berguru memahami teladan pikir karakternya. Bal Thackeray ingin mencerdaskan masyarakat, lantaran baginya percuma publik berteriak “Sediakan lapangan kerja!” andai mereka memang tak kompeten. Alasannya memperjuangkan hak Marathy yang (konon) dikesampingkan di rumah sendiri pun sanggup dimengerti.

Tapi haruskah jalan radikal dipilih? Ketimbang berargumen mengenai problem itu, Thackeray menentukan menutup mata. Mungkin lantaran bagi pembuatnya, hal-hal tersebut merupakan kebenaran hakiki yang tak perlu dijelaskan. Hasilnya ialah film mengerikan (in a negative way) yang pantas disingkirkan ke daerah sampah kalau bukan lantaran performa Nawazuddin Siddiqui lewat keberhasilannya menghidupkan figur kharismatik, yang melalui baris demi baris kalimatnya sanggup menggerakkan (atau mempengaruhi?) massa tanpa harus berorasi dengan teriakan. Gesturnya pasti, pelafalan kalimatnya jelas, ribuan kali lebih terperinci dibanding keseluruhan filmnya.

Belum ada Komentar untuk "Thackeray (2019)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel