Manikarnika: The Queen Of Jhansi (2019)

Manikarnika: The Queen of Jhansi hanya kurang selangkah lagi menjadi film empowerment memikat wacana penolakan seorang pemimpin perempuan untuk tunduk pada penjajah serta persepsi sosial yang mengekang kebebasan wanita. Seluruh momen pendukung yang diharapkan telah filmnya miliki, belum lagi ditambah performa kelas wahid sang aktris utama, yang bukan tidak mungkin bakal masuk jajaran klasik di masa depan. Sayang, akhir kecanggungan di beberapa poin pengadeganan serta penyuntingan, elemen-elemen tersebut urung menyatu dengan baik.

Berlatar pertengahan periode 1800-an tatkala kekuasaan Inggris di India semakin kejam, dan hampir semua kerajaan menentukan tunduk, Manikarnika: The Queen of Jhansi menuturkan kisah hidup Manikarnika alias Manu (Kangana Ranaut), si perempuan tangguh yang dibesarkan layaknya prajurit oleh ayahnya (Manish Wadhwa) dan Bajirao II (Suresh Oberoi) dari Bithoor. Semasa bayi, seorang peramal menyebut bahwa kelak nama Manu bakal tercatat dalam sejarah India.

Perjalanan Manu menjadi salah satu figur besar lengan berkuasa dalam usaha kemerdekaan India dimulai kala ia menikahi Maharaja dari Jhansi, Gangadhar Rao (Jisshu Sengupta), kemudian mengganti namanya menjadi Lakshmibai. Sejak itulah ia mulai mencar ilmu soal situasi politik, pula penderitaan rakyatnya selama kolonialisme mencengkeramkan tanah India. Sampai suatu hari, pasca menyaksikan sang suami menundukkan kepala kepada Kapten Gordon (Edward Sonnenblick), hasrat meletuskan perlawanan mulai tumbuh di dada Manu.

Tentu itu bukan masalah mudah. Manu tidak sajamesti menghadapi kekuatan militer Inggris yang berkali lipat lebih besar dan kuat, juga kultur yang kurang akrab dengan wanita. Tidak semua orang bersedia tunduk di hadapan Manu, walau ia berstatus seorang Ratu. Ibu mertuanya sendiri bahkan menyuruh Manu berkonsentrasi saja di dapur ketimbang ikut mengurusi kasus politik.

Persekusi, seksisme, juga budaya misogini merupakan konteks yang masih relevan biarpun lebih dari 200 tahun telah berlalu semenjak kisah film ini. Itu sebabnya usaha Manu teraa bermakna. Manikarnika: The Queen of Jhansi mampu menjalankan kiprahnya untuk meyakinkan penonton, betapa sang Ratu tituler yaitu sosok besar yang kisahnya pantas diangkat.

Saya dibentuk kagum oleh beberapa keberanian Manu, mulai dari penolakannya menjalankan ritual sebagai janda dan menentukan fokus menyusun rencana perlawanan, sampai aksi-aksi penuh nyalinya di medan perang. Manu tak gentar melancarkan serangan terbuka walau nyawa jadi taruhannya. Sebab ia yakin, kematiannya justru akan menyulut semangat rakyat. Keberaniannya bahkan membuat Jenderal Hugh Rose (Richard Keep) yang populer atas kekejamannya (literally) mengalami mimpi jelek sampai berteriak kolam pengecut.

Kangana Ranaut, yang turut duduk di bangku sutradara bersama Krish (Gautamiputra Satakarni, Gabbar is Back), menghadirkan akting yang tak kalah membara dari api usaha Manu. Tatapan matanya sanggup membuat prajurit nomor wahid sekalipun ciut nyalinya. Kangana yaitu salah satu alasan mengapa momen ketika Manu mulai menduduki tampuk kekuasaan—yang dibarengi musik epic gubahan Ankit Balhara dan Sanchit Balhara (Bajirao Mastani, Padmaavat)—terasa menggetarkan walau keseluruhan penceritaan film ini urung mencapai hasil maksimal.

Ketidakmulusan pengadeganan dibarengi penyuntingan bernafsu jadi sumber persoalan. Anda akan menemukan beberapa titik balik dramatis yang jumpy, di mana perilaku maupun emosi huruf berubah tiba-tiba, kebanyakan di antaranya terjadi sesudah mendengar pidato inspirasional. Niatnya jelas: menawarkan betapa kuat pidato-pidato tersebut. Tapi tanpa transisi layak, justru kekonyolan yang muncul.

Terdapat adegan mengerikan dikala gadis cilik digantung lantaran ia berjulukan Lakshmi, namun insiden keji itu pun nihil dampak, lantaran diselipkan paksa di antara sekuen uplifting lengkap dengan musik pengiring bernuansa positif. Kelemahan di atas terulang beberapa kali, sehingga tensi dramatis filmnya pun acap kali berakhir lemah.

Meski masih “gagap” dikala bercerita, Kangana dan Krish cukup mumpuni membuat sekuen agresi epic nan megah, walau dalam hal film sejarah, visual ibarat apa pun bakal tampak kerdil sesudah kehadiran Padmaavat tahun lalu. Peperangannya brutal, tak pernah ragu menumpahkan darah di tengah agresi saling tebas. Tapi jangan mengharapkan kuantitas tinggi, mengingat formasi sabung gres tersaji begitu filmnya berlangsung hampir dua jam.

Belum ada Komentar untuk "Manikarnika: The Queen Of Jhansi (2019)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel