Jaff 2018 - Daysleepers (2018)

Bagian mana yang bagus dari dua insan yang menyadari eksistensi satu sama lain dari jendela masing-masing? Apabila pernah menetap di Jakarta, kemudian merasakan monotonitas hiruk pikuk rutinitasnya, romantisme sederhana dikala takdir menautkan dua sosok asing kemungkinan bakal anda pahami. Sebab disadari atau tidak, manusia-manusia yang bergelut dengan artificial-nya ibu kota seringkali memimpikan ikatan. Bahwa entah kapan dan bagaimana, di malam hari kala roda gigi industri telah mati, ada jiwa bernasib sama yang dapat diajak mengembangkan hati.

Daysleepers memiliki judul Bahasa Indonesia Kisah Dua Jendela, di mana dua jendela yang dimaksud yakni daerah Leon (Khiva Iskak) dan Andrea (Dinda Kanyadewi) melongok keluar dari ruang kerja mereka. Leon merupakan novelis sukses yang berusaha berkarya lagi pasca vakum beberapa tahun sehabis ajal istrinya. Selepas puteranya tidur, Leon duduk di cafe milik Tito (Joko Anwar), berusaha menulis kembali. Andrea pun sama, seorang daysleeper yang banting tulang di malam hari lantaran pekerjaannya di dunia saham menuntut komunikasi internasional yang terbentur perbedaan waktu.

Hidup keduanya terserap oleh layar komputer demi menghasilkan pundi-pundi rupiah. Khususnya Andrea, yang selalu berpesan pada adiknya, Dina (Agnes Naomi) semoga ulet mencar ilmu supaya gampang mendapat uang. Paul Agusta (Parts of the Heart, Semua Sudah Dimaafkan alasannya yakni Kita Pernah Bahagia) selaku sutradara sekaligus penulis naskah mengajak kita mengamati repetisi kehidupan membosankan milik Andrea: Terbangun oleh suara alarm yang sama, menyikat gigi, datang di kantor yang kosong, menonton Popeye di televisi, membuat kopi dan camilan, memulai pekerjaan, kemudian pulang sehabis fajar.

Pengulangan bertempo lambat yang diterapkan Paul untuk mewakili monotonitas hidup Andrea kemungkinan bakal melelahkan untuk sebagian besar penonton. Pilihan gaya tersebut memiliki maksud, meski pertanyaan “Perlukah diulang sebanyak itu?” bahu-membahu patut dilontarkan. Pun selaku alat bantu membangun suasana, Nikita Dompas (Cahaya dari Timur: Beta Maluku) membuat musik elektronik untuk menyimbolkan betapa tokoh-tokohnya dikuasai benda elektronik. Sayangnya, selain terdengar bagai royalty free music yang bertebaran di internet, penempatannya kerap kurang tepat, sehingga di beberapa titik justru mendistraksi alih-alih menyokong.

Tapi sebagai materi observasi, pemandangan di atas jadi menarik sewaktu lama-kelamaan, Andrea mulai tertarik mengintip lewat jendela kantornya seiring munculnya kebosanan serta keraguan atas tujuannya bekerja. Hampir sepanjang durasi tampil seorang diri, Dinda selalu punya cara semoga kekosongan rutinitas Andrea tidak turut membuat adegan yang hampa. 

Soal intip-mengintip, Leon (juga nama mendiang ayah Paul Agusta) sudah melakukannya lebih dulu. Keanehan di mana ruang kerja Andrea jadi satu-satunya jendela yang bercahaya memantik inspirasinya. Leon mulai menulis perihal bayangan si perempuan asing di jendela. Ketika presentasi dunia Andrea sunyi nan sepi, Leon berbeda. Di cafe tempatnya menulis, berlangsung lebih banyak dinamika berkat eksistensi manusia-manusia lain, yang kebetulan, gemar berceloteh.

Tito si pemilik cafe merupakan pengagum karya Leon, dan sewaktu sang penulis buntu, Tito senantiasa melontarkan kata-kata penyemangat. Sebagai penulis, saya paham betul makna senyum dan api semangat yang menyala lagi di mata Khiva Iskak begitu mendengar pertolongan Tito. Salah satu harta paling berharga bagi penulis memang ungkapan “cinta” pembacanya. Bukan Tito saja yang meramaikan suasana, turut hadir Topan (Tadelesh Ilham) si pelayan polos dan Niken (Djenar Maesa Ayu), pemilik kafe yang ceplas-ceplos dalam bicara.

Adegan cafe begitu hidup, bahkan acap kali memancing tawa berkat kombinasi jajaran pemain  yang di dunia konkret memang sudah lebih dari saling mengenal. Paul membiarkan aktor-aktornya berimprovisasi (Menurut Paul, hanya sekitar 30% dari keseluruhan pembicaraan di cafe yang bersumber dari naskah). Joko dengan komentar-komentar bernada ajaib, Djenar lewat ungkapan-ungkapan juju yang sesekali terdengar “nakal”, bukan saja meramaikan malam Leon, pula filmnya. Diakhiri momen singkat namun manis, Daysleepers memberi payoff setimpal bagi kita yang sabar menanti terjalinnya sebuah ikatan.

Belum ada Komentar untuk "Jaff 2018 - Daysleepers (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel