To Rome With Love (2012)
Saya bukan penggemar karya-karya Woody Allen dan itu bekerjsama disebabkan lantaran belum terlalu banyak film-filmnya yang aku tonton. Saya menyukai Midnight in Paris dan Vicky Cristina Barcelona namun "anehnya" merasa biasa saja dengan Annie Hall yang sering dianggap sebagai salah satu karya terbaik Allen. Setelah keberhasilan Midnight in Paris yang disebut sebagai kembalinya Woody Allen ke performa terbaik termasuk kesuksesannya memperlihatkan Oscar untuk naskah orisinil terbaik bagi Allen, sutradara serba sanggup ini kembali mengajak penontonnya berjalan-jalan ke kota lain yaitu Roma. To Rome with Love terasa Istimewa dan menjanjikan lantaran selain memperlihatkan keindahan kota Roma film ini juga mempunyai ensemble cast yang mumpuni mulai dari Alec Baldwin, Jesse Eisenberg, Greta Gerwig, Ellen Page, Roberto Benigni, Penelope Cruz sekaligus Woody Allen sendiri yang kembali berakting sesudah terakhir bermain di tahun 2006 dalam Scoop. Sama ibarat Midnight in Paris, To Rome with Love juga menggabungkan unsur realis dengan magical. Bedanya disini kita akan diperlihatkan empat dongeng yang terpisah satu sama lain.
Cerita pertama yaitu wacana kisah cinta seorang turis Amerika berjulukan Hayley (Alison Pill) dengan laki-laki Italia berjulukan Michelangelo (Flavio Parenti) yang bertemu disaat Hayley tengah berlibur trend panas di Roma. Keduanya pun bertunangan dan tiba saatnya orang renta mereka saling bertemu. Konflik muncul dikala ayah Hayley (Woody Allen) yang mantan sutradara opera menemukan talenta menyanyi dalam diri ayah Michelangelo (Fabio Armiliato). Yang kedua yaitu wacana sepasang suami istri baru, Anotnio (Alessandro Tiberi) dan Milli (Alessandra Mastronardi) yang berniat pindah ke Roma sesudah Antonio mendapat usulan pekerjaan bergaji tinggi dari keluarganya. Sebelum pertemuan dengan keluarga Antonio, Milli memutuskan pergi ke salon yang malah membuatnya tersesat. Disaat itulah tiba-tiba Antonio dikejutkan dengan kedatangan seorang psk berjulukan Anna (Penelope Cruz) di kamar hotelnya. Kemudian ada dongeng Leopoldo (Roberto Benigni) yang dalam kesehariannya tidak pernah digubris pendapatnya dan dianggap "tidak penting". Suatu pagi ia terkejut dikala secara mendadak dirinya menjadi selebritis yang dipuja banyak orang.
Cerita pertama yaitu wacana kisah cinta seorang turis Amerika berjulukan Hayley (Alison Pill) dengan laki-laki Italia berjulukan Michelangelo (Flavio Parenti) yang bertemu disaat Hayley tengah berlibur trend panas di Roma. Keduanya pun bertunangan dan tiba saatnya orang renta mereka saling bertemu. Konflik muncul dikala ayah Hayley (Woody Allen) yang mantan sutradara opera menemukan talenta menyanyi dalam diri ayah Michelangelo (Fabio Armiliato). Yang kedua yaitu wacana sepasang suami istri baru, Anotnio (Alessandro Tiberi) dan Milli (Alessandra Mastronardi) yang berniat pindah ke Roma sesudah Antonio mendapat usulan pekerjaan bergaji tinggi dari keluarganya. Sebelum pertemuan dengan keluarga Antonio, Milli memutuskan pergi ke salon yang malah membuatnya tersesat. Disaat itulah tiba-tiba Antonio dikejutkan dengan kedatangan seorang psk berjulukan Anna (Penelope Cruz) di kamar hotelnya. Kemudian ada dongeng Leopoldo (Roberto Benigni) yang dalam kesehariannya tidak pernah digubris pendapatnya dan dianggap "tidak penting". Suatu pagi ia terkejut dikala secara mendadak dirinya menjadi selebritis yang dipuja banyak orang.
Terakhir ada dongeng wacana John (Alec Baldwin) seorang arsitek ternama yang kembali mengunjungi Roma sesudah 30 tahun. Saat sedang berjalan-jalan ia bertemu dengan Jack (Jesse Eisenberg) yang juga calon arsitek dan penggemarnya. Jack pun mengajak John bertemu dengan kekasihnya, Sally (Greta Gerwig). John pun menjadi "pengamat" dalam konflik yang terjadi dikala sobat Sally yang selalu digilai banyak lelaki, Monica (Ellen Page) tinggal sementara bersama mereka dan menciptakan Jack mulai tertarik padanya. Masing-masing ceritanya memang tidak berkaitan satu sama lain, namun sesungguhnya keempatnya punya benang merah selain lokasinya yang sama-sama berletak di kota Roma. Kesemuanya mempunyai kisah cinta yang berbeda tipe, mempunyai kaitan yang bersahabat dengan mimpi sekaligus obsesi dan juga mempunyai unsur magis yang menciptakan kisahnya menjadi semi-realis. Semuanya memang punya dongeng cinta tapi dengan pesan yang berbeda-beda. Kisah pertama lebih menonjolkan bagaimana keberanian seseorang untuk mengambil resiko demi impiannya sembari dibalut oleh dongeng bagaimana jadinya dikala dua pasang calon mertua saling bertemu dan merasa adanya ketidak cocokan dengan sang calon menantu.
Kisah kedua berfokus pada ujian kesetiaan untuk sebuah pasangan disaat seseorang harus menentukan antara mimpi serta obsesi dengan kesetiaan. Bicara soal mimpi, kisah ketiga wacana Leopoldo juga berada di area tersebut disaat seseorang begitu berharap ia menjadi seseorang yang "didengarkan" sekaligus diperhatikan. Kisah ini juga memperlihatkan bagaimana monotonnya hidup seseorang bagaimanapun kondisi hidupnya jikalau ia tidak memanfaatkan itu dengan baik. Sedangkan kisah terakhir masih seputaran kesetiaan yang diuji akan sebuah obsesi seorang laki-laki terhadap perempuan yang begitu dipujanya. Sedangkan huruf John menambahkan unsur "magis" sembari menyiratkan sebuah ambiguitas mengenai perannya. Apakah ia sekedar kata hati Jack ataukah John yang sedang melaksanakan napak tilas akan masa lalunya? Semua kisah tersebut sesungguhnya punya jalan dongeng serta pesan yang sederhana kalau tidak mau dibilang klise. Namun Woody Allen menambahkan porsi fantasi di beberapa kisahnya plus keindahan kota Roma untuk membuatnya lebih menarik. Sayangnya hasil tamat yang muncul tidaklah seindah yang aku harapkan.
Hampir tidak ada dongeng yang terasa mendalam dan mengena bagi saya, padahal konflik yang ada dasarnya yaitu konflik yang membumi dan justru sanggup begitu mengena jikalau dimaksimalkan. Sayangnya akhir fokus yang terpecah justru tidak ada yang terasa mendalam. Sayangnya lagi unsur fantasi yang diselipkan sebagai keunikan justru kurang berani ditotalkan sehingga hanya menciptakan kisahnya semakin jauh dari penonton dan semakin sulit untuk merebut hati saya. Woody Allen terasa terlalu berhati-hati untuk memasukkan unsur magisnya dalam masing-masing kisah. Bahkan tidak semua kisahnya punya sisi absurd, padahal itu termasuk yang aku tunggu. Tingkat absurdnya pun terlalu jauh berbeda satu dengan yang lain. Disaat kisah Leopoldo layaknya dongeng, kisah Antonio dan Milli malah begitu sederhana. Bandingkan dengan Midnight in Paris yang begitu gila memunculkan fantasinya tanpa harus kehilangan unsur realisme yang mendalam dan membuatnya sebagai tontonan yang spesial. Alahasil To Rome with Love menjadi film yang serba nanggung entah ditinjau dari kedalaman dongeng ataupun kegilaan fantasinya.
Kekurangan film ini masih ditambah dengan kurang gregetnya sajian komedi yang dihasilkan oleh Woody Allen lewat naskahnya. Saya intinya memang bukan orang yang selera komedinya masuk dengan gaya Woody Allen, tapi yang ia tampilkan dalam To Rome with Love benar-benar kurang bahkan meski hanya untuk menciptakan aku tersenyum sekalipun. Untungnya masih ada sinematografi indah yang mendukung keindahan kota Roma yang artistik dan kental rasa sejarahnya. Lalu meski fantasinya kurang maksimal setidaknya masih menciptakan aku terjaga dari rasa kantuk untuk menunggu hal ajaib apalagi yang akan Woody Allen tampilkan selain penyanyi opera yang manggung sambil mandi dibawah shower. Yah, tapi pada balasannya To Rome with Love yaitu surat cinta yang mengecewakan bagi aku yang berharap mendapat sajian kisah cinta indah penuh daya magis, lantaran intinya cinta memang terasa ibarat sihir.
Hampir tidak ada dongeng yang terasa mendalam dan mengena bagi saya, padahal konflik yang ada dasarnya yaitu konflik yang membumi dan justru sanggup begitu mengena jikalau dimaksimalkan. Sayangnya akhir fokus yang terpecah justru tidak ada yang terasa mendalam. Sayangnya lagi unsur fantasi yang diselipkan sebagai keunikan justru kurang berani ditotalkan sehingga hanya menciptakan kisahnya semakin jauh dari penonton dan semakin sulit untuk merebut hati saya. Woody Allen terasa terlalu berhati-hati untuk memasukkan unsur magisnya dalam masing-masing kisah. Bahkan tidak semua kisahnya punya sisi absurd, padahal itu termasuk yang aku tunggu. Tingkat absurdnya pun terlalu jauh berbeda satu dengan yang lain. Disaat kisah Leopoldo layaknya dongeng, kisah Antonio dan Milli malah begitu sederhana. Bandingkan dengan Midnight in Paris yang begitu gila memunculkan fantasinya tanpa harus kehilangan unsur realisme yang mendalam dan membuatnya sebagai tontonan yang spesial. Alahasil To Rome with Love menjadi film yang serba nanggung entah ditinjau dari kedalaman dongeng ataupun kegilaan fantasinya.
Kekurangan film ini masih ditambah dengan kurang gregetnya sajian komedi yang dihasilkan oleh Woody Allen lewat naskahnya. Saya intinya memang bukan orang yang selera komedinya masuk dengan gaya Woody Allen, tapi yang ia tampilkan dalam To Rome with Love benar-benar kurang bahkan meski hanya untuk menciptakan aku tersenyum sekalipun. Untungnya masih ada sinematografi indah yang mendukung keindahan kota Roma yang artistik dan kental rasa sejarahnya. Lalu meski fantasinya kurang maksimal setidaknya masih menciptakan aku terjaga dari rasa kantuk untuk menunggu hal ajaib apalagi yang akan Woody Allen tampilkan selain penyanyi opera yang manggung sambil mandi dibawah shower. Yah, tapi pada balasannya To Rome with Love yaitu surat cinta yang mengecewakan bagi aku yang berharap mendapat sajian kisah cinta indah penuh daya magis, lantaran intinya cinta memang terasa ibarat sihir.
Belum ada Komentar untuk "To Rome With Love (2012)"
Posting Komentar