The Exorcist (1973)
Apa film horor terbaik sepanjang masa? Jawabannya akan beragam. Para penonton masa sekarang mungkin banyak yang menyebut karya-karya James Wan macam Insidious atau The Conjuring. Para pecinta shasher mungkin akan memuja The Texas Chainsaw Massacre, A Nightmare on Elm Street hingga Halloween. Pemuja Sam Raimi pastinya akan mengagungkan trilogi Evil Dead karyanya. Akan muncul balasan yang sangat bermacam-macam tapi The Exorcist mungkin akan menjadi yang paling banyak disebut dan menjadi sebuah karya klasik yang selalu dikenang. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan William Peter Blatty ini berhasil meraup laba finansial yang luar biasa dengan pendapatan diatas $440 juta dengan bujet yang hanya $10 juta dimana hasil tersebut menempatkan The Exorcist sebagai salah satu film terlaris sepanjang masa. Dalam ajang Oscar pun film ini berhasil meraih 10 nominasi dan menjadi film horor pertama yang mampu menerima nominasi Best Picture. Kontroversi pun banyak mengiringi film ini alasannya yakni dianggap banyak mengumbar visual yang disturbing dan hal lain yang dianggap "menodai" agama. Tapi apakah The Exorcist masih menjadi sebuah sajian yang sebegitu hebatnya jikalau ditonton ketika ini?
Kisahnya dibuka dengan memperlihatkan proyek penggalian yang dipimpin oleh Father Merrin (Max von Sydow) yang selain seorang Pendeta juga merupakan arkeolog. Penggalian yang dilakukan di Irak tersebut membawa Father Merrin pada sebuah inovasi yang berkaitan dengan sesosok iblis berjulukan Pazuzu. Kemudian kisah berpindah ke Washington, disaat seorang aktris ternama Chris McNeil (Ellen Burstyn) yang mulai menyadari adanya perubahan signifikan pada sikap puteri tunggalnya, Regan (Linda Blair). Regan yang tadinya ceria dan baik hati tiba-tiba sering mengeluarkan sumpah serapah dan memperlihatkan tanda-tanda gangguan fisik yang tidak biasa. Usaha membawa Regan ke dokter tidak membuahkan hasil alasannya yakni dari aneka macam tes yang dilakukan tidak ditemui adanya gangguan pada kondisi fisiknya. Disisi lain kondisi Regan semakin parah dan beliau mulai melaksanakan aneka macam perbuatan ekstrim yang mengancam dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Disaat segala perjuangan medis gagal menyembuhkan Regan, Chris pun berpaling meminta derma pada pendeta berjulukan Damien Karras (Jason Miller) yang juga seorang psikiater. Damien sendiri sedang mengalami krisis doktrin akhir rasa bersalah terhadap maut sang ibu. Dalam kondisi itulah Damien mulai menyadari bahwa ada kekuatan jahat yang bersemayam dalam badan Regan.
The Exorcist dimulai dengan tempo lambat. Kita secara perlahan diperkenalkan kepada masing-masing karakternya mulai dari penggalian yang dilakukan Father Merrin, pengenalan terhadap Chris dan Regan, serta mengenai krisis doktrin yang dialami oleh Damien Karras. Bahkan hingga satu jam pertama hampir tidak ada teror yang benar-benar mencekam dan pada satu jam tersebut, "gangguan" yang dialami oleh Regan gres mulai bertambah parah. Penonton yang mengharapkan berondongan teror mencekam sedari awal kisah mungkin akan merasa tidak sabar, namun bagi saya satu jam pertama yang berfokus pada pengenalan huruf itu sangatlah esensial. Kita tidak akan mencicipi shock yang sama ketika Regan mulai dikontrol oleh iblis dan melaksanakan tindakan-tindakan ekstrim jikalau kita tidak banyak diperlihatkan bagaimana sosoknya yang polos dan ceria pada awal film. Tidak akan ada pula subplot menarik wacana krisis doktrin yang dialami Damien dan konflik menarik di titik puncak film ketika ia terjebak akan rasa bersalah dan doktrin yang harus ia miliki sebagai seorang Pendeta. Tapi bukan berarti The Exorcist tidak memperlihatkan ketegangan pada paruh awalnya. Beberapa adegan ibarat tes X-ray yang begitu menciptakan ngilu "hanya" alasannya yakni darah yang muncrat, hingga adegan-adegan sederhana ibarat pemaparan penampang hasil tes otak Regan yang uniknya bisa terasa begitu mencekam tanpa iringan musik apapun melainkan hanya imbas bunyi dari alat yang dipakai oleh dokter.
Tidak perlu adegan scare jump untuk menciptakan The Exorcist terasa mencekam. Beberapa penampakan wajah iblis yang mungkin terlihat konyol ketika ini bisa memperlihatkan kesan mengerikan ibarat sebuah mimpi jelek yang mendadak muncul. Bahkan hingga momen ketika Regan sudah benar-benar diambil alih oleh iblis Pazuzu, film ini tidak mencoba mengaget-ngageti penonton lewat momen scare jump. The Exorcist lebih menentukan bermain-main dengan psikologis penonton lewat aneka macam sumpah serapah yang terlontar dari verbal sang iblis mulai dari yang sifatnya "hanya" kata-kata kotor hingga yang menghina Tuhan dan agama. Kita pun diajak melihat bagaimana mengerikannya iblis bukanlah pada wajahnya yang mengerikan atau tindakannya yang berbahaya tapi lebih kepada caranya untuk mempengaruhi umat insan semoga kehilangan doktrin lewat budi bulus yang ia miliki. The Exorcist memang punya keunggulan yang jarang dimiliki film horor pada umumnya yakni naskah yang tergarap dengan begitu baik. Seperti treatmenti yang diberikan pada Regan, naskahnya bermain-main pada area psikologis yang dipadukan dengan religiusitas. Bagaimana ketika psikis seseorang mulai terluka ia pun mulai "menghancurkan" dirinya. Tapi pada karenanya doktrin yang besar lengan berkuasa (apapun kepercayaan yang dianut) akan membawa seseorang menjadi lebih besar lengan berkuasa dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. Tidak heran naskahnya berhasil memenangkan kategori Best Adapted Screenplay di Oscar ketika itu.
Aspek visualnya sendiri memegang peranan penting. Sinematografinya indah, khususnya ketika adegan awal dimana Father Merrin berhadapan dengan patung Pazuzu di puncak bukit yang tidak hanya menghamparkan keindahan namun kengerian tersendiri. Seperti yang sudah saya singgung diawal tulisan, aneka macam grafik visualnya yang cukup disturbing bisa memperlihatkan kengerian dan teror yang mengejutkan. Mulai dari spider-walk scene, adegan kepala berputar hingga yang paling gila yakni ketika setan dalam diri Regan mulai menusuk-nusukkan salib pada kemaluannya hingga berdarah-darah sambil bersumpah serapah. Efek visualnya bekerja dengan baik dan terlihat meyakinkan bahkan untuk dilihat ketika ini sekalipun. Bahkan aspek musiknya yang berisikan lagu Tubular Bellsi pun turut berhasil membangun teror dari atmosfernya yang mencekam. Klimaksnya tidak hanya menegangkan dan mengerikan namun juga menjadi titik puncak dalam pergulatan batin yang dialami oleh Damien Karras yang bagi saya yakni huruf pendeta terbaik yang pernah muncul dalam film bertemakan exorcism.
The Exorcist diakhiri dengan sebuah ending yang sangat saya sukai. Film ini memang menghadirkan konflik pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan yang sudah ratusan kali diangkat dalam film horor termasuk yang bertemakan iblis, namun final filmnya menciptakan saya merenungi sesuatu. Dalam hal ini, kekuatan insan yang berada pada pihak Tuhan memang akan lebih besar lengan berkuasa ketika melawan gangguan setan, namun diharapkan lebih dari itu. Dibutuhkan doktrin dan kepercayaan yang benar-benar besar lengan berkuasa untuk melakukannya. Salah seorang guru saya dulu pernah berkata bahwa akan percuma bagi mereka yang selalu berbuat keburukan dan dosa untuk berucap ayat-ayat suci ketika berhadapan dengan setan sepanjang apapun yang ia baca disaat dalam dirinya tidak benar-benar muncul rasa percaya terhadap apa yang ia ucapkan tersebut. Tapi diluar itu semua, The Exorcist memang layak disebut sebagai salah satu (jika bukan yang terbaik) film horor terbaik sepanjang masa. Perpaduan dari aspek teknis yang mumpuni, naskah yang berkualitas, akting yang menawan khususnya Linda Blair dan tentunya tidak melupakan kehebatannya dalam memperlihatkan teror termasuk secara psikologis pada penontonnya.
Belum ada Komentar untuk "The Exorcist (1973)"
Posting Komentar