Syndromes And A Century (2006)
Saya mengenal Apichatpong Weerasethakul lewat filmnya, Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (review) yang sukses meraih penghargaan Palme d'Or di Cannes Film Festival tahun 2010. Sutradara yang satu ini memang boleh dibilang merupakan sutradara paling sukses di Thailand dengan aneka macam prestasinya di ajang Cannes. Sebelum Palme d'Or, ia sempat meraih Un Certain Regard lewat Blissfully Yours pada 2002 dan Jury Prize lewat Tropical Malady pada tahun 2004. Sedangkan lewat Syndromes and a Century, Apichaptong menerima nominasi Golden Lion di ajang Venice Film Festival. Tapi untuk film ini bukan prestasi hebatnya di kancah internasional yang menciptakan saya tertarik, melainkan konsep ceritannya yang unik. Saya tertarik menonton film ini sehabis mendengar bahwa filmnya mempunyai dua kisah berbeda yang mana masing-masing kisah punya obrolan sama dengan setting yang ibarat namun pada hasilnya menunjukkan sebuah konklusi yang berbeda, menarik bukan? Tentu saja saya ingin tau akan ibarat apa Apichatpong mengemas sebuah film dengan dua kisah yang mempunyai obrolan sama tapi pada hasilnya mempunyai konklusi yang berbeda. Cerita pertama film ini mengambil setting di sebuah rumah sakit kecil yang terletak di pedesaan. Filmnya dibuka dengan wawancara yang dilakukan oleh Dr. Toey (Nantarat Sawaddikul) kepada Dr. Nohng (Jaruchai Iamaram).
Semenjak pertemuan pertama itu ternyata Nohng mulai jatuh cinta pada Toey yang kemudian mulai menceritakan pengalaman dan hubungan masa lalunya dengan seorang laki-laki. Selain keduanya kita akan melihat juga interaksi lain antara dua orang abjad unik, yaitu seorang dokter gigi sekaligus penyanyi country berjulukan Ple (Arkanae Cherkam) dengan pasiennya, seorang biksu yang menyukai musik-musik modern berjulukan Sakda (Sakda Kaewbuadee). Lalu pada kisah kedua, setting berpindah ke sebuah klinik kesehatan besar di Bangkok dimana beberapa kejadian, adegan serta obrolan yang muncul di kisah pertama kembali terulang namun diluar itu semuanya berbeda. Bicara soal obrolan yang sama, Syndromes and a Century tidak menunjukkan ibarat yang ada di ekspektasi saya. Memang ada beberapa obrolan maupun situasi yang sama, namun secara kuantitas tidak terlalu banyak. Tapi meskipun tidak sesuai dengan ekspektasi, Apichatpong ternyata masih sanggup menebarkan sisi magisnya dalam film ini yang menciptakan kedua kisah yang hadir tetap merasa mempunyai keterikatan begitu intim dalam hal rasa. Seperti yang sempat dikatakan Apichaptong, film ini akan menyentuh tema perihal memori dan tema tersebut menjadi benang merah yang begitu berpengaruh menyatukan kedua ceritanya. Disaat kisah pertamanya banyak mengungkap memori dari abjad Toey, pada kisah kedua paruh pertama perihal kehidupan di rumah sakit kecil tersebut terasa bagaikan sebuah memori intim yang indah untuk dikenang. Hal-hal lain ibarat mimpi juga turut menambah berpengaruh aroma memori dalam film ini
Jika bicara soal memori, ada lagi satu tema yang cukup erat kaitannya dengan hal itu yakni reinkarnasi. Saya tidak sanggup untuk tidak mencicipi aura Buddha yang kental dalam Syndromes and a Century, apalagi dengan "penampakan" beberapa patung Buddha dalam filmnya. Tentu saja dalam sebuah film yang kental dengan nuansa fatwa Buddha atau yang dibentuk oleh penganutnya, tema-tema perihal Buddhisme akan begitu terasa meski hanya secara tersirat. Salah satu tema yang paling sering hadir yaitu reinkarnasi, dan film ini juga memilikinya. Lewat beberapa dialognya, reinkarnasi juga sering disinggung. Tentu saja sebuah reinkarnasi erat kaitannya dengan memori, lebih tepatnya memori perihal kehidupan yang telah lalu. Sama ibarat itu, Syndromes and a Century juga menghadirkan banyak ingatan dan perenungan akan kejadian-kejadian yang telah lalu. Selain itu, film ini juga membahas perihal perubahan kearah yang lebih baik dalam hidup. Hal itu terlihat dari sosok Nohng yang dalam kisah pertama hanya seorang pegawai gres di rumah sakit kampung namun dalam kisah kedua sudah menjadi dokter di klinik kesehatan besar yang terletak di Bangkok. Tidak hanya itu, ia juga mempunyai seorang kekasih yang mapan dan keduanya berniat untuk pindah ke daerah yang lebih modern.
Saya juga merasa bahwa Apichaptong coba bercerita perihal sebuah modernisasi yang "menelan" alam ini. Hal itu tidak hanya terlihat dari bagaimana hubungan kisah pertama (alam) dengan kisah kedua (Industri) tapi juga lewat aneka macam visual yang tersaji. Salah satunya yaitu pada ketika mendekati ending yang menunjukkan sebuah pipa menyedot asap yang berada dalam sebuah ruangan. Adegan itu terasa ibarat sebuah citra perihal industri yang mulai menyedot habis hal-hal di alam ini. Mungkin saja Apichaptong tidak bermaksud untuk bercerita perihal hal itu, tapi saya mencicipi itu hadir begitu berpengaruh dalam film ini. Tentu saja kalau membicarakan perihal aspek visual, Syndromes and a Century punya sinematografi yang begitu indah hasil karya Sayombhu Mukdeeprom. Banyak memakai wide shot, gambar-gambarnya seolah menunjukkan betapa indah sekaligus misteriusnya kehidupan ini. Belum lagi dipadukan dengan pergerakan kamera yang lambat tapi niscaya mengeksplorasi aneka macam benda-benda termasuk patung-patung yang nampak begitu indah sekaligus mencekam dan misterius. Tempo pergerakan kameranya memang sangat mendukung gaya penyutradaraan Apichaptong yang juga menyajikan filmnya dengan tempo lambat. Sama ibarat Uncle Boonmee, film ini berjalan tidak hanya lambat tapi juga terasa sunyi. Tidak ada obrolan dengan emosi yang meletup, semuanya terucap dalam tempo yang lambat dan mengalir perlahan. Iringan musik pun terhitung minim dengan lebih banyak menampilkan imbas bunyi alam.
Gaya Apichaptong itu memang bakal menyulitkan filmnya untuk dinikmati semua orang. Tempo yang lambat dan terkesan tidak dinamis terkadang menciptakan film ini terasa berat dan sanggup membosankan. Selain itu fakta bahwa film ini berjalan tanpa plot atau setidaknya tidak mempunyai narasi yang standar juga membuatnya makin sulit untuk dinikmati. Saya sendiri tidak anti terhadap film semacam ini, bahkan saya sangat menyukai Uncle Boonmee yang sama lambat dan surealnya, tapi akhir ekspektasi awal yang tidak terpenuhi, saya pun tidak sebegitu menyukai film ini walau bersama-sama Syndromes and a Century adalah presentasi yang indah, puitis dan terasa begitu intim. Tapi beginilah ekspektasi, kalau tidak terpenuhi walaupun kita sadar bahwa film itu anggun dan sangat ingin menyukainya hal itu tidak akan terjadi. Syndromes and a Century pun berakhir sebagai sebuah tontonan menyenangkan yang tidak hingga terasa Istimewa bagi saya.
Belum ada Komentar untuk "Syndromes And A Century (2006)"
Posting Komentar