Modern Times (1936)

 
Charlie Chaplin masih tetap kukuh menciptakan film bisu meskipun sejak 1929 film bunyi mulai mengambil alih. Tapi karyanya terbukti masih berkualitas ibarat yang ia buktikan dalam City Lights yang rilis tahun 1931 dan menjadi salah satu karya terbaik Chaplin diantara karya-karyanya yang selalu masuk formasi komedi sepanjang masa. Bagi saya sendiri yang bukan termasuk penyuka komedi slapstick City Lights yang juga merupakan perkenalan saya dengan film Chaplin yaitu sajian yang bagus. Bukan hanya dari komedinya tapi juga dari sisi dramanya. Bahkan ending film tersebut merupakan salah satu ending paling mengharukan yang pernah saya tonton. Lima tahun kemudian Chaplin menciptakan Modern Times yang awalnya menjadi usahanya untuk menciptakan film bersuara namun ia urungkan sebab berdasarkan Chaplin itu akan merusak ciri khas dari huruf The Tramp yang begitu ikonis dengan mulut dan gestur. Akhirnya dalam film yang wangsit dasarnya berawal dari obrolan antara Chaplin dengan Mahatma Gandhi ini, dilakukan sebuah eksperimen yang menggabungkan antara film bisu dengan beberapa efek bunyi dialog. Bahkan dalam Modern Times penonton untuk kali pertama mendengarkan bunyi The Tramp sekaligus yang terakhir sebab sesudah ini huruf itu "dipensiunkan".

Modern Times berkisah perihal era great depression yang terjadi pada era 30-an ketika kondisi perekonomian tengah carut marut dan orang-orang berebut pekerjaan di aneka macam pabrik. The Tramp disini pun merupakan salah satu pekerja di sebuah pabrik yang mengeksploitasi para buruhnya. Bahkan ada perjuangan untuk memaksimalkan waktu kerja dengan menghilangkan jam makan siang. Hal itu menciptakan Tramp mengalami nervous breakdown yang menjadikan kecelakaan di pabrik, dan diapun harus masuk ke rumah sakit jiwa. Sialnya sesudah keluar dari sana ia terjebak dalam sebuah demonstrasi dan akhir suatu kesalah pahaman (yang tentu saja konyol) ia pun harus dijebloskan ke dalam penjara. Singkat cerita, Tramp dianggap pendekar sebab menggagalkan perjuangan beberapa narapidana untuk kabur dan menyerang polisi. Hal itu membuatnya menerima kehidupan yang tercukupi dan senang di penjara. Kebingungan ia rasakan ketika datang waktunya hari kebebasan. Diluar penjara itulah ia bertemu seorang gadis yatim piatu (Paulette Goddard) yang gres saja kehilangan ayahnya. Gadis tersebut menolak dibawa ke penampungan dan menentukan hidup di jalan dan makan dengan cara mencuri. Dari situlah kedua orang ini mulai saling mengenal dan membangun mimpi bersama untuk kehidupan yang lebih baik.

Modern Times terang bertutur perihal bagaimana para buruh dan pekerja dieksploitasi tenaganya untuk bekerja hanya demi sedikit uang. Kemanusiaan sama sekali tidak diperhatikan hanya demi profit perusahaan. Ya, film ini memang berkisah perihal era great depression namun jikalau dibawa ke zaman kini pun apa yang diangkat oleh Modern Times masih sangat signifikan. Banyak film yang tidak lekang oleh waktu, dan Modern Times yaitu tumpuan sempurna. Aspek komedinya masih bisa dinikmati namun diluar itu, konten yang coba diangkat masihlah sesuai dengan apa yang terjadi sekarang. Tentunya semua itu dikemas lewat gaya komedi Chaplin yang konyol dan absurd. Film ini juga turut mempertanyakan makna hidup dalam kebebasan. Ironis memang sebab di dalam penjara sang huruf utama bisa hidup senang dan dijamin bisa makan dan bersantai. Berbeda dengan diluar dimana untuk makan saja merupakan hal yang sangat sulit sebab pekerjaan merupakan sesuatu yang langka...lagi-lagi hingga ketika ini. Tapi kejelian Chaplin tidak serta merta memojokkan satu situasi, sebab ia coba mengangkat bahwa kebebasan dan kebahagiaan itu pada karenanya kembali lagi pada masing-masing individu. Bagaimana mereka terus berusaha dan bisa dibilang mensyukuri apa yang ia miliki. Hal itu terlihat dari bagaimana bahagianya dua huruf utama film ini padahal mereka hanya tinggal di rumah reyot dan makan seadanya.
Kedua karakternya memang menggambarkan bagaimana orang-orang yang secara ekonomi masuk kategori tidak bisa tetap berusaha membangun mimpi mereka untuk hidup senang di tengah kesederhanaan yang ada. Tentu saja mimpi kebahagiaan mereka pun yaitu hal yang sederhana ibarat mempunyai rumah dan disambut oleh pasangan ketika pulang kerja. Disinilah yang saya sukai dari film-film Charlie Chaplin. Saya yang bukan seorang penyuka komedi slapstick tetap bisa dibentuk menikmati filmnya. Saya sendiri tidak hingga tertawa terbahak-bahak menyaksikan komedinya meski untuk Modern Times masih lebih banyak momen yang bisa menciptakan saya tertawa atau setidaknya tersenyum jikalau dibandingkan City Lights. Saya sendiri dibentuk kagum dan tertawa melihat bagaimana Chaplin menyajikan sebuah mesin yang "membantu" para pekerja makan siang tanpa menghabiskan waktu. Atau salah satu momen ikonik film ini ketika The Tramp masuk ke dalam mesin dan terjebak di tengah lautan gear raksasa. Namun yang Istimewa yaitu ditengah segala komedi dan kekonyolannya, film dari Chaplin selalu mengatakan aneka macam macam aspek dan gosip yang akan selalu signifikan jikalau dibawa ke zaman kini sekalipun. Karakter The Tramp sendiri merupakan perlambang dari mereka yang miskin ekonomi namun kaya hatinya. Bagaimana dengan segala kekonyolannya ia selalu berusaha melaksanakan perbuatan yang baik. Tentu saja semua itu bisa hidup berkat kehebatan berakting seorang Charlie Chaplin.

Meskipun pada adegan slapstick yang tidak lucu bagi saya sekalipun, senyum selalu muncul melihat penampilan Chaplin. Saya selalu kagum pada kehebatannya berekspresi, bergestur dan bergerak kesana kemari. Bahkan disini ia menunjukkan kebolehannya bernyanyi.Akhirnya hanya lewat dua filmnya pun saya tahu bagaimana kejeniusan Chaplin tidak hanya sebagai seorang sutradara dan penulis naskah namun juga sebagai pemain film film komedi bisu yang tidak melupakan aspek dramatis dalam ekspresinya. Karya-karya Chaplin yaitu bukti bahwa komedi slapstick bukan hanya sebuah komedi murahan atau kampungan ibarat yang ketika ini sedang "ngetren" dipergunjingkan oleh mereka para penikmat hiburan. Karena jikalau ditangani dengan benar, sajian slapstick yang menampilkan komedi fisik bahkan lempar-lemparan tepung atau masakan ringan manis sekalipun bisa menjadi sebuah sajian super kreatif. Modern Times pun ditutup dengan sebuah ending yang menyimpan kebahagiaan dan harapan. Mungkin tidak mengharukan ibarat City Lights tapi tetap ada sebuah cita-cita besar yang tersimpan di dalamnya. Akhir film ini juga menggambarkan berakhirnya huruf The Tramp bersamaan dengan sosoknya yang berjalan di bawah senja menuju jalan yang nampak tiada akhir. Namun ibarat jalan yang tiada final itu pula sosoknya tidak akan pernah mati dan kekal di dalam layar perfilman.

Belum ada Komentar untuk "Modern Times (1936)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel