Blue Jasmine (2013)

Woody Allen terperinci merupakan salah satu sutradara terbaik sekaligus paling produktif di Hollywood. Namun bila menyelidiki karyanya akhir-akhir ini, sangat terasa bagaimana fluktuatifnya kualitas film yang ia hasilkan. Sebagai pola sehabis tahun 2011 ada Midnight in Paris yang sangat elok bahkan berhasil memenangkan Oscar bagi naskah yang ia tulis, Woody Allen menciptakan To Rome With Love di tahun 2012 yang mengecewakan. Pada hasilnya saya sendiri tidak pernah terlalu antusias disaat Woody Allen merilis film tiap tahunnya kecuali bila film tersebut mendapat respon yang amat kasatmata atau bahkan mendapat buzz di ajang penghargaan. Blue Jasmine sendiri mendapat respon kasatmata khususnya terhadap performa Cate Blanchett yang digadang-gadang bakal meraih Oscar keduanya tahun ini (piala pertamanya yaitu Best Supporting Actress dalam film The Aviator). Mungkin Blue Jasmine tidak akan lagi mengajak kita berjalan-jalan menikmati pemandangan-pemandangan aneka macam kota indah di Eropa ibarat yang belakangan ini dilakukan Woody Allen, namun ia kembali mengajak kita ke kota New York dan apartemen kelas menengah. Masih menghadirkan drama berbalut komedi lewat rentetan obrolan yang muncul bertubi-tubi dengan selipan obrolan khas sang sutradara. Kali ini ditambah akting elok Cate Blanchett.

Jasmine (Cate Blanchett) gres saja pindah dari rumah mewahnya di San Francisco ke rumah sederhana milik adiknya, Ginger (Sally Hawkins) di New York sehabis mengalami depresi akhir kebangkrutan yang ia alami. Sebelumnya, Jasmine yaitu seorang sosialita yang hidup mewah, rajin berpesta, mempunyai barang-barang mahal dan bersuamikan seorang pengusaha sukses berjulukan Hal (Alec Baldwin). Namun suatu hari bisnis ilegal yang dijalankan oleh Hal diketahui pihak kepolisian. Hal pun ditangkap dan semua hartanya disita. Kebangkrutan yang tiba-tiba itu menciptakan Jasmine tidak siap dan mengalami depresi. Sekarang ia sering bicara sendiri di jalan. Jasmine pun menetap di rumah Ginger hingga ia berdiri kembali sambil terus berusaha menata ulang kehidupannya termasuk berusaha mencari uang dan pendamping hidup yang baru. Namun tentu saja bukan hal gampang bagi Jasmine yang sudah terbiasa hidup glamor untuk berada dalam kondisi tidak punya apa-apa dan bekerja keras ibarat itu. Disisi lain Ginger sendiri tengah memulai hubungan gres dengan Chili (Bobby Cannavale) sehabis bercerai dengan suami pertamanya. Kali ini memang Woody Allen tidak terlalu banyak memainkan kisah romansa, meski aspek tersebut masih ada. Tema depresi yang dijadikan fokus disini, dan tentunya dikemas dengan gaya Woody Allen yang menyelipkan humor.

Meskipun Blue Jasmine berfokus pada depresi yang dialami oleh huruf utamanya, film ini tidaklah terasa sangat depresif. Atmosfer yang dibangun terperinci ceria bila disandingkan dengan film-film lain yang mengangkat momen kejatuhan serta depresi karakternya. Lewat rangkaian obrolan yang ada, Blue Jasmine sukses menawarkan porsi seimbang antara studi huruf pada Jasmine dan selipan komedinya. Disatu sisi kita bisa melihat terperinci "kegilaan" yang dialami Jasmine, sedangkan disisi lain kita tetap dibentuk terhibur oleh dialog-dialog menarik yang ditulis Woody Allen. Bahkan di salah satu adegan, terlihat pertengkaran hebat yang terjadi antara Ginger, Chili dan Jasmine tetap bisa terasa lucu. Disinilah pengemasan adegan yang hebat dari Woody Allen berpadu tepat dengan akting memikat Cate Blanchett. Momen pertengkaran itu terasa lucu namun tidak pernah kehilangan sisi emosionalnya. Memang sudah menjadi keahlian seorang Woody Allen untuk menyelipkan aspek humor dalam sebuah konflik serius tapi tidak menciptakan momen itu kehilangan kekuatannya dan menjadi konyol. Adegan itu juga hanya salah satu pola kehebatan Cate Blanchett. Ada keangkuhan, kesedihan, kerapuhan, amarah dan tentunya depresi yang teramat sangat. Blanchett mengemban kiprah berat yakni menghadirkan sisi depresif yang sebetulnya gelap menjadi cerah bahkan menghasilkan komedi. Dan ia berhasil melaksanakan itu tanpa sedikitpun mengakibatkan karakternya hanya sebagai huruf komedik.
Blue Jasmine menghadirkan kisah menarik perihal sebuah kebangkrutan dan di dalamnya terselip sedikit sindiran. Sebuah sindiran perihal bagaimana seorang yang dulunya kaya, hidup penuh kemewahan menjadi stres ketika semua hartanya menghilang dan merasa telah kehilangan semuanya. Namun ironisnya di mata mereka yang lebih miskin, orang itu masihlah punya uang yang lebih dari cukup untuk sekedar melanjutkan hidup. Ya, ia mungkin tidak lagi bermandikan kemewahan, namun terperinci ia masih bisa hidup dengan gaya yang lebih glamor daripada mereka yang miskin. Tentu kita pernah berada dalam kondisi yang kurang lebih sama. Disaat sahabat atau saudara kita curhat perihal problem berat yang ia alami dimana orang itu hingga terlihat begitu murung atau bahkan depresi, namun ketika mendengar kisah mereka kita hanya berpikiran bahwa sebetulnya itu yaitu problem sepele bahkan orang itu masih lebih beruntung daripada kita. Ya, kita niscaya sudah sering berada pada situasi yang dialami Ginger ketika ia tahu bahwa Jasmine tiba naik pesawat kelas satu dan menenteng tas Louis Vuitton. Beberapa konflik lain juga turut diselipkan dan tentunya masih ada kisah percintaan yang membahas perihal kesetiaan. Ada pula sebua twist yang cukup mengejutkan dan sebetulnya tidak terlalu besar lengan berkuasa pada alurnya namun lebih kepada perkembangan serta penelusuran psikologis karakternya.

Blue Jasmine jelas merupakan hidangan yang memuaskan berkat kemampuan Woody Allen menyelipkan komedi dalam temanya yang kelam dan tentunya perfroma elok Cate Blanchett. Masih ada juga iringan musik jazz yang sekali lagi bisa menemani suasana filmnya. Namun saya tetap merasa langkah untuk menciptakan kisah perihal depresi ini menjadi mempunyai atmosfer yang cukup cerah menjadi mengurangi potensi kekuatan ceritanya. Ya, berkat akting Cate Blanchett sosok Jasmine memang tetap terasa punya kedalaman dan kerumitan, namun momen-momen konfliknya seringkali terasa kurang menggigit alasannya yaitu hal itu. Secara keseluruhan Blue Jasmine yaitu tontonan yang memuaskan namun terperinci tidak terasa spesial. Kemajuan bila dibandingkan karya terakhir Woody Allen, namun terperinci bukan termasuk karya terbaiknya. Atau itu hanya alasannya yaitu saya memang bukan penggemar karya-karya Woody Allen? Mungkin saja.

Belum ada Komentar untuk "Blue Jasmine (2013)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel