Gie (2005)
Nama Soe Hok Gie akan selalu dikenal sebagai sosok aktifis mahasiswa, ikon perlawanan terhadap orde usang yang sangat kritis dan vokal, serta tentunya sebagai penggagas berdirinya Mapala UI yang dapat dibilang merupakan pionir bangun komunitas-komunitas mahasiswa pecinta alam lainnya di seluruh Indonesia. Film Gie yang dibentuk oleh duet janjkematian Riri Riza (sutradara & penulis naskah) dan Mira Lesmana (produser) ini yakni film yang memenangkan kategori Film Terbaik FFI tahun 2005. Selain itu film ini juga menawarkan Nicholas Saputra piala FFI pertamanya sebagai pemeran terbaik. Dengan segala prestasi dan orang-orang ahli yang terlibat, terperinci film yang diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran tulisan Soe Hok Gie ini cukup berpotensi sebagai salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Saya sendiri gres pertama kali menonton Gie sekarang, sembilan tahun sesudah filmnya rilis (memalukan memang, dan banyak film lokal lain yang saya lewatkan berniat saya tonton mulai sekarang). Awalnya saya meratapi keterlambatan saya menonton film biopic yang digadang-gadang sebagai salah satu yang terbaik ini, namun kini saya justru meratapi penyesalan saya tersebut. Gie ternyata mengecewakan, dan merupakan salah satu yang terburuk dari seorang Riri Riza.
Ceritanya bermula sedari masa muda Soe Hok Gie (Jonathan Mulia) yang dari dingklik sekolah populer sering melaksanakan protes dan mengecam ketidak adilan yang terjadi di sekitarnya. Berawal dari situlah ia mulai tumbuh menjadi seorang cowok yang kritis terhadap segala hal yang ia anggap tidak adil. Hingga pada ketika memasuki masa perkuliahan, Gie (Nicholas Saputra) mulai berorganisasi bersama sahabat-sahabatnya menyerupai Herma Lantang (Lukman Sardi), Denny Mamoto (Indra Birowo) dan Ira (Sita Nursanti). Bentuk organisasi mereka diawali dari pembentukan Mapala UI hingga keterlibatan mereka di senat mahasiswa. Dari sinilah perlawanan Gie dan para mahasiswa lainnya terhadap pemerintahan orde usang milik Soekarno yang dinilai penuh kediktatoran apalagi ketika ia diangkat menjadi Presiden seumur hidup dimulai. Terjadinya konflik dengan PKI pun turut memicu konflik lainnya termasuk yang melibatkan sahabat masa kecil Gie, Han (Thomas Nawilis). Tidak hanya berkisah wacana sepak terjang Gie sebagai aktifis, kehidupan romansanya pun sedikit diangkat disini, dimana Gie sebenarnya menyimpan rasa cinta kepada Ira namun merasa harus menghormati sahabatnya itu. Disisi lain Gie juga sempat menjalin hubungan dengan Sinta (Wulan Guritno) yang amat mengagumi Gie.
Kaprikornus kenapa saya menyebut Gie yang notabene yakni film terbaik versi FFI 2005 dan film terbaik Indonesia versi banyak pihak sebagai salah satu karya terburuk Riri Riza? Ada beberapa faktor, tapi yang paling terperinci yakni satu hal, yakni tidak adanya kekuatan huruf dari sosok Gie itu sendiri. Pengembangan huruf yang kuat yakni aspek yang amat penting dalam film, namun kalau bicara film biopic maka tingkat kepentingan tersebut menjadi berlipat ganda. Bagaimana mungkin sebuah film biopic yang hakikatnya yakni untuk memperkenalkan seorang tokoh konkret dapat anggun kalau penggambaran karakternya dalam film tidak kuat? Dan yang paling penting yakni menciptakan penonton merasa bahwa sosok yang diangkat memang layak dibuatkan film. Sejenak kita lupakan dulu sosok Gie yang memang sudah populer sebagai seorang aktifis mahasiswa yang vokal dan berpengaruh. Mari menganggap kita tidak banyak tahu wacana kehebatan Gie. Dalam kondisi menyerupai itu harapannya film ini mampu menciptakan penonton mencicipi betapa hebatnya sosom Gie tanpa melupakan aspek negatif yang juga dimiliki, alasannya yakni film biopic juga akan menjadi buruk kalau terlalu ahli dan menggambarkan karakternya sebagai sosok yang terlalu sempurna
Kaprikornus kenapa saya menyebut Gie yang notabene yakni film terbaik versi FFI 2005 dan film terbaik Indonesia versi banyak pihak sebagai salah satu karya terburuk Riri Riza? Ada beberapa faktor, tapi yang paling terperinci yakni satu hal, yakni tidak adanya kekuatan huruf dari sosok Gie itu sendiri. Pengembangan huruf yang kuat yakni aspek yang amat penting dalam film, namun kalau bicara film biopic maka tingkat kepentingan tersebut menjadi berlipat ganda. Bagaimana mungkin sebuah film biopic yang hakikatnya yakni untuk memperkenalkan seorang tokoh konkret dapat anggun kalau penggambaran karakternya dalam film tidak kuat? Dan yang paling penting yakni menciptakan penonton merasa bahwa sosok yang diangkat memang layak dibuatkan film. Sejenak kita lupakan dulu sosok Gie yang memang sudah populer sebagai seorang aktifis mahasiswa yang vokal dan berpengaruh. Mari menganggap kita tidak banyak tahu wacana kehebatan Gie. Dalam kondisi menyerupai itu harapannya film ini mampu menciptakan penonton mencicipi betapa hebatnya sosom Gie tanpa melupakan aspek negatif yang juga dimiliki, alasannya yakni film biopic juga akan menjadi buruk kalau terlalu ahli dan menggambarkan karakternya sebagai sosok yang terlalu sempurna
Dalam film ini Riri Riza tidak berhasil menciptakan saya merasa bahwa Soe Hok Gie yakni seorang sosok yang memang sebegitu besarnya. Yang terlihat hanyalah Gie sebagai orang yang aktif berorganisasi, pandai, dan rutin menerbitkan goresan pena di surat kabar dengan konten yang katanya kritis dan kontroversial. Kenapa saya menulis "katanya"? Karena dalam film inipun tidak diperlihatkan seberapa kontroversialnya goresan pena Gie. Dengan hanya memaparkan judul goresan pena dan sangat sedikit kutipan artikel tersebut terperinci tidak cukup menawarkan kesan Gie sebagai sosok yang kritis. Selain itu tidak terlalu terlihat pula sosok Gie yang dianggap dapat menggerakkan mahasiswa untuk lebih kritis. Disini beliau terlihat hanya menggerakkan sahabat-sahabatnya yang hanya segelintir tersebut. Pada risikonya huruf Gie pun terasa kosong. Meski penyutradaraan Riri Riza tetap anggun yang terlihat dari pengemasan adegan yang menarik, pemilihan gamabr yang cukup baik dan para pemainnya yang tampil lumayan, namun naskah yang ditulisnya tersa kosong. Sebuah obrolan dari film ini yang berbunyi "Semua terasa mesra, tapi kosong" benar-benar menggambarkan keseluruhan filmnya.
Naskahnya diangkat dari buku yang menurut catatan harian Gie. Yang namanya catatan harian pastinya tidak akan menggambarkan dengan begitu detail layaknya buku-buku otobiografi. Pasti banyak cerita yang hanya ditulis singkat, sekilas bahkan mungkin ada rentetan timeline yang tidak dituliskan. Ya, alasannya yakni semuanya hanya sebagai bentuk curahan perasaan penulis untuk langsung terlepas dari nantinya catatan itu akan dijadikan buku. Apa yang terjadi dalam Gie pun terasa menyerupai sebuah catatan harian. Filmnya secara umum dikuasai terasa menyerupai rangkaian montage belaka. Hal itu menciptakan kedalaman emosinya sangat kurang dan menciptakan banyak insiden yang terasa melompat. Bahkan beberapa huruf jadi terasa menghilang tiba-tiba disaat filmnya melompat begitu saja dari satu waktu ke waktu yang lain. Ambil referensi ketika tiba-tiba Gie sudah berpisah dengan sahabatnya termasuk Herman Lantang yang sudah lulus padahal beberapa menit sebelumnya mereka masih bersama-sama. Atau lihat bagaimana tersia-siakannya konflik dan persoalan yang dialami Gie ketika sahabat masa kecilnya menjadi anggota PKI. Kita tidak sempat mencicipi kuatnya persahabatan mereka di masa kecil dulu hingga dan ketika muncul konflik dengan PKI, sisi emosionalnya menjadi tidak terasa. Bahkan film ini ditutup dengan adegan simbolisme yang menampilkan kedua sahabat ini. Akhirnya adegan epilog itu terasa hampa alasannya yakni saya tidak terikat dengan persahabatan mereka.
Tapi untunglah masih ada beberapa aspek positif dalam film ini. Mulai dari lokasi dan arti direction-nya cukup baik, begitu pula sinematografinya. Begitu pula aspek musiknya yang mana film ini diisi begitu banyak lagu-lagu anggun dengan penempatan yang sesuai pula. Ada lagu menyerupai Donna Donna, Like A Rolling Stone sampai Nurlela yang begitu mengena. Bahkan momen syahdu ketika lagu Donna Donna dimainkan dengan iringan gitar di suatu malam yakni momen paling emosional yang menciptakan saya merinding dan terharu. Akting Nicholas Saputra pun anggun disini, walaupun dengan fakta bahwa huruf Gie kurang dieksplorasi oleh naskahnya. Akhirnya saya menghabiskan tiga paragraf untuk membahas aspek negatif film ini namun hanya setengah paragraf membahas aspek positifnya. Itu alasannya yakni agar bagaimana pun segala kebaikan yang ditawarkan tidak mampu menutupi kekurangannya. Karena kekurangan yang ada merupaka aspek yang paling vital khususnya dalam film biopic. Saya akui Gie sanggup menciptakan saya menyadari beberapa hal wacana esensi politik, kekuasaan dan perlawanan namun sekali lagi ini yakni film wacana Soe Hok Gie, bukan wacana esensi politik. Gie adalah film yang ambisius, besar namun terasa begitu kosong. Tidak buruk namun sangat overrated bagi saya. Daripada film ini bagi saya Janji Joni jauh lebih pantas jadi yang terbaik tahun 2005 lalu.
Tapi untunglah masih ada beberapa aspek positif dalam film ini. Mulai dari lokasi dan arti direction-nya cukup baik, begitu pula sinematografinya. Begitu pula aspek musiknya yang mana film ini diisi begitu banyak lagu-lagu anggun dengan penempatan yang sesuai pula. Ada lagu menyerupai Donna Donna, Like A Rolling Stone sampai Nurlela yang begitu mengena. Bahkan momen syahdu ketika lagu Donna Donna dimainkan dengan iringan gitar di suatu malam yakni momen paling emosional yang menciptakan saya merinding dan terharu. Akting Nicholas Saputra pun anggun disini, walaupun dengan fakta bahwa huruf Gie kurang dieksplorasi oleh naskahnya. Akhirnya saya menghabiskan tiga paragraf untuk membahas aspek negatif film ini namun hanya setengah paragraf membahas aspek positifnya. Itu alasannya yakni agar bagaimana pun segala kebaikan yang ditawarkan tidak mampu menutupi kekurangannya. Karena kekurangan yang ada merupaka aspek yang paling vital khususnya dalam film biopic. Saya akui Gie sanggup menciptakan saya menyadari beberapa hal wacana esensi politik, kekuasaan dan perlawanan namun sekali lagi ini yakni film wacana Soe Hok Gie, bukan wacana esensi politik. Gie adalah film yang ambisius, besar namun terasa begitu kosong. Tidak buruk namun sangat overrated bagi saya. Daripada film ini bagi saya Janji Joni jauh lebih pantas jadi yang terbaik tahun 2005 lalu.
Belum ada Komentar untuk "Gie (2005)"
Posting Komentar