Full Metal Jacket (1987)
Another Kubrick's movie...yang berarti akan identik dengan kegilaan, visi luar biasa jenius, perfeksionisme sang sutradara yang kental terasa hingga konten dongeng yang menyiratkan kerapuhan manusia. Lagi-lagi Kubrick membawa itu semua dalam sebuah genre yang berbeda. Kali ini giliran kisah perang Vietnam yang ia angkat dalam sebuah pembiasaan dari novel The Short-Timers karangan Gustav Harford. Memang Full Metal Jacket bukanlah satu-satunya film perang dari Kubrick, alasannya ialah 30 tahun sebelumnya ia pernah menciptakan film peperangan lain berjudul Paths of Glory, namun sanggup dibilang film inilah yang lebih fenomenal. Filmnya dibagi menjadi dua bagian, dimana 45 menit pertama akan berfokus pada training gila-gilaan yang dialami oleh para calon marinir dimana training tersebut benar-benar menggembleng fisik dan mental mereka secara habis-habisan. Sedangkan lebih dari satu jam sisanya dihabiskan untuk membawa kita menuju medan perang yang sesungguhnya di Vietnam. Saya sendiri lebih merasa terikat pada paruh pertamanya dimana kita akan melihat para marinir ini dihajar habis dalam latihan berat yang dipimpin oleh Sersan Hartman (R. Lee Ermey). Hartman tidak hanya menyuruh anak buahnya berlatih fisik tapi juga rutin "menyemprot" mereka dengan banyak sekali makian yang menciptakan setiap anggota disana tidak ada harganya sama sekali.
Keseharian yang begitu keras itu jugalah yang memberi tekanan pada para calon marinir tersebut termasuk bagi Gomer Pyle (Vincent D'Onofrio). Pyle yang bertubuh gemuk dan sering kesulitan dikala latihan fisik dan kedisiplinan selalu jadi korban teriakan Hartman. Namun itu belum seberapa hingga kesudahannya ia juga menerima perlakuan bullying dari rekan-rekannya, termasuk Joker (Matthew Modine) yang bekerjsama selama ini selalu setia membantu Pyle dan menjadi satu-satunya teman bagi dirinya. Kemudian paruh keduanya berpindah ke Vietnam dimana Joker sekarang telah menjadi sersan dan bertugas sebagai jurnalis dalam kesatuan marinir. Setelah terjadinya sebuah serangan di markas, Joker dan rekannya, Rafterman (Kevyn Major Howard) ditugaskan untuk meliput peperangan yang terjadi di belahan lain Vietnam. Mereka berdua bergabung di sebuah pasukan yang di dalamnya juga terdapat Cowboy (Arliss Howard), salah seorang teman Joker di masa training dulu. Pada penugasannya itulah Joker menjadi saksi kejam dan tragisnya perang Vietnam disaat ia melihat banyak mayit bergelimpangan mulai dari rekannya sendiri hingga para perempuan dan bawah umur yang tidak bersalah.
Saya kembali menyatakan bahwa paruh pertama film ini lebih saya sukai. Bahkan paruh pertama film ini terasa jauh lebih disutrbing dan lebih gila dibandingkan dikala filmnya sudah bergerak maju menuju peperangan yang sesungguhnya. Di 45 menit awal ini Kubrick memperlihatkan bagaimana imbas psikologis yang dialami oleh para calon marinir dibawah tempaan dari Sersan Hartman. Kita diajak melihat bagaimana orang-orang yang sanggup dibilang polos dan lemah ini digembleng tidak hanya untuk menjadi tentara dengan fisik yang kuat, tapi lebih dari itu mereka dilatih untuk mempunyai mental sebagai mesin pembunuh. Daripada "latihan" mungkin apa yang terlihat lebih sempurna disebut "brainwashing" dimana pada otak mereka ditanamkan begitu banyak contoh pikir yang pada dasarnya menjurus bahwa mereka hidup sebagai tentara ialah untuk membunuh musuh sebanyak mungkin di medan perang dan mereka harus menyerahkan seluruh jiwa raga mereka kepada tujuan tersebut. Tapi apa yang kesudahannya terjadi sungguh ironis. Ada yang "kehilangan kewarasan" ibarat Gomer Pyle akhir tekanan dan trauma yang ia alami bahkan sebelum terjun di medan perang. Sedangkan bagi mereka yang kesudahannya datang di peperangan menelan mentah-mentah kalimat "bunuh musuhmu" yang kesudahannya menciptakan banyak dari mereka menjadi mesin pembunuh yang tidak pandang bulu dan membunuh untuk kesenangan.
Menyebut film seorang Stanley Kubrick sebagai film yang "aman" nampaknya tidak tepat, namun jikalau dibandingkan karya-karya Kubrick lain yang sudah saya tonton Full Metal Jacket terasa paling tidak ambisius setidaknya paruh kedua film ini. Disaat paruh pertamanya benar-benar gila mengeksplorasi dampak psikologis yang diterima oleh para calon tentara, paruh kedua terasa biasa saja. Jelas segala momen peperangannya dibentuk dengan baik entah itu setting sampai efek peperangan (ledakan, desing peluru, asap, darah). Tapi tetap saja tidak ada aura outstanding di paruh keduanya. Akhirnya meski aura outstanding muncul di paruh pertama, namun alasannya ialah yang kedua lebih usang berjalan Full Metal Jacket secara keseluruhan pun berakhir "hanya" sebagai film yang bagus. Sedangkan untuk ukurang Stanley Kubrick sebutan "bagus" mengambarkan filmnya tidak maksimal. Saya tidak mencicipi aspek horor dalam peperangan di paruh keduanya. Bandingkan dengan Apocalypse Now milik Coppola yang benar-benar memperlihatkan betapa perang Vietnam itu merupakan horor kasatmata dalam kehidupan ini. Tapi meski secara nuansa horor-psikologis paruh keduanya kurang, lagi-lagi berkat penyutradaraan Kubrick banyak sekali momennya tetap tersaji menarik. Pemilihan lokasi perangnya sendiri cukup unik disaat lebih banyak didominasi film berlatar perang Vietnam menentukan hutan tropis, Kubrick menentukan reruntuhan gedung sebagai lokasinya.
Saya sempat berpikir ihwal apa yang coba Kubrick sampaikan lebih jauh dalam film ini. Jelas ini ialah film anti perang. Diluar segala satirnya serta sindiran ihwal imbas negatif perang pada mereka yang terlibat, Kubrick juga coba memberikan pertentangan ihwal fakta peperangan. Lihat sosok Joker yang menggunakan helm bertuliskan "Born to Kill" tapi di seragamnya menggunakan pin lambang perdamaian. Disitulah pertentangan terasa dimana perang sering dilakukan dengan alasan mencari perdamaian, tapi dengan apa yang kita lihat dan telah terjadi di medan perang, apakah logis menyatakan itu semua sebagai sebuah jalan mencapai perdamaian? Kemudian saya mencoba melihat lebih jauh kenapa Kubrick tetapkan memecah filmnya menjadi dua bab yang punya rasa sangat berbeda, ditambah paruh keduanya yang tidak terlalu "horor" untuk film yang coba memperlihatkan imbas psikologis peperangan. Kenapa Kubrick yang perfeksionis "luput" akan hal vital itu? Jawabannya alasannya ialah ini merupakan satir Kubrcik dimana segala dampak psikologis yang terjadi bukan serta merta "hanya" alasannya ialah mereka melihat pemandangan mengerikan di medan perang tapi sudah dipupuk jauh-jauh hari semenjak mereka berada di pelatihan. Semua itu ialah pupuknya, sedangkan medan perang ialah pemicu bangkitnya segala hal yang sudah ditanamkan di masa latihan dulu. Kedua bab ini juga sama-sama menggambarkan transformasi karakternya. Jika paruh pertama menggambarkan Pyle dari seorang pecundang menjadi psikopat, maka paruh kedua memperlihatkan Joker dari seorang tentara bab jurnalistik yang tidak berpengalaman menjadi "tentara sejati" yang diperlihatkan oleh thousand yard stare yang ia perlihatkan di selesai film.
Paragraf diatas mungkin terasa kontradiktif dengan apa yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya ihwal kritikan terhadap paruh kedua film ini. Ya, pada kesudahannya saya memahami kenapa Kubrick mengemas Full Metal Jacket sedemikian rupa, namunsaya tetap ingin memberikan segala apa yang saya rasakan dikala menonton film ini hingga saya putuskan tetap menuliskan dua pendapat yang bertentangan tersebut. Kesimpulannya Full Metal Jacket adalah film yang jago secara keseluruhan berkat keputusan Kubrick menyajikan semua ihwal perang dan dampaknya dari sudut pandang yang berbeda dibanding film-film lain, bahkan hingga ke detail filmnya ibarat pemakaian reruntuhan gedung sebagai arena peperangan dan bukannya hutan tropis. Full Metal Jacket pun meninggalkan banyak hal ikonik mulai dari helm bertuliskan born to kill, sosok Pyle yang mengerikan dikala ia kesudahannya "jatuh", dan tentunya sosok Sergeant Hartman lengkap dengan segala sumpah serapahnya. R. Lee Ermey tampil luar biasa dengan lebih banyak didominasi obrolan hasil improvisasinya sendiri yang mempunyai banyak istilah asing yang menggelitik. Bahkan Kubrick pun hingga tidak memahami makna kata "reach-around" yang ia gunakan hingga kesudahannya menyetujui itu alasannya ialah lezat didengar. Disaat seorang Stanley Kubrick yang perfeksionis dan selalu ingin mengontrol semua aspek dalam filmnya, membiarkan seorang pemain drama mengimprovisasi "seenaknya" obrolan yang ia gunakan mengambarkan betapa hebatnya pemain drama tersebut.
Belum ada Komentar untuk "Full Metal Jacket (1987)"
Posting Komentar