12 Years A Slave (2013)
Meminggirkan Shame serta Michael Fassbender dari ajang Oscar tahun kemudian terang merupakan hal yang harusnya menciptakan para juri Oscar malu. Sebuah karya luar biasa Steve McQueen yang diisi studi mendalam ihwal laki-laki dengan satyriasis yang diisi penampilan memikat Michael Fassbender itu nyatanya tidak dilirik oleh mereka. Mungkin sebab tema filmnya yang terlalu kontroversial dan vulgar? Saya tidak tahu. Yang terang kali ini McQueen kembali lagi kali ini dengan tema perbudakan yang sudah sering diangkat dalam media film dan tentunya lebih dekat untuk para juri Oscar. Michael Fassbender untuk ketiga kalinya secara berturut-turut akan bermain dalam film McQueen. Namun kali ini ia tidak sendiri sebab ada ensemble cast besar yang mengisi 12 Years A Slave dimana selain Fassbender ada Chiwetel Ejiofot, Benedict Cumberbatch, Paul Dano, Paul Giamatti serta Brad Pitt yang juga bertindak sebagai produser. Ceritanya sendiri menurut sebuah memoir berjudul sama milik Solomon Northup, seorang budak kulit gelap yang menuturkan kisahnya selama menjadi korban perbudakan keji selama 12 tahun lamanya. Sosok Solomon sendiri diperankan oleh Chiwetel Ejiofot yang selama ini lebih banyak dikenal dalam kiprahnya dalam banyak sekali miniseri di televisi.
Solomon ialah seorang kulit gelap yang hidup sebagai insan bebas dan tinggal di Saratoga, New York bersama istri dan dua anaknya. Solomon hidup dalam kebahagiaan lengkap dengan statusnya sebagai seorang pemain biola berbakat yang terpandang di masyarakat. Suatu hari ia ditawari untuk bergabung dalam rombongan sirkus sebagai pemain biola yang mengiringi pertunjukkan sulap sirkus tersebut. Tentu saja Solomon menerimanya dengan senang hati apalagi ia dijanjikan bayaran yang tidak sedikit dalam pekerjaan tersebut. Namun malang bagi Solomon ternyata itu semua hanyalah perangkap untuk menjual Solomon kepada seorang penyalur budak berjulukan Theophilus Freeman (Paul Giamatti) yang mulai memperlihatkan Solomon beserta budak-budak kulit gelap lainnya kepada para pemilik perkebunan. Solomon pun mulai menjalani 12 tahun kehidupannya sebagai seorang budak yang banyak mengalami serta menyaksikan insiden mengenaskan. Beberapa kali Solomon berpindah tuan. Pernah ia dimiliki oleh William Ford (Bennedict Cumberbatch) yang baik hati. Namun pernah juga ia berakhir di perkebunan kapas milik Edwin Epps (Michael Fassbender) yang populer kejam pada para budaknya.
Mungkin 12 Years A Slave sekilas tidak akan berbeda dengan film-film lain yang mengetengahkan kejamnya kala perbudakan terhadap kaum kulit hitam, namun dari narasinya sendiri film ini punya perbedaan yang menarik. Film-film bertemakan perbudakan lainnya misal kita ambil pola The Butler akan memperlihatkan bagaimana huruf utamanya perlahan mulai memperbaiki hidupnya dari seorang budak tidak berharga menjadi seorang yang dipandang. 12 Years A Slave sebaliknya, sebab huruf Solomon akan memulai kisahnya sebagai orang yang hidup senang namun dalam sekejap kebahagiaan itu direnggut berganti dengan kehidupan brutal sebagai budak. Kita diajak melihat bagaimana ironi tragis yang tersaji ketika dalam sekejap saja hidup bisa berubah 180 derajat. Bagaimana ketidak siapan seseorang disaat hal itu terjadi secara mendadak dan merenggut segala kebahagiaannya dengan begitu cepat. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana Solomon yang sudah menjadi Platt sang budak berusaha bertahan hidup dalam kondisinya sekarang. Yang menarik, Solomon bukanlah sosok yang benar-benar melaksanakan pemberontakan. Di satu sisi beliau berusaha mendapatkan situasi yang ada namun semangat untuk bebas terang terlihat dalam dirinya. Dia tidak pernah mengalah akan kebebasan tapi Solomon cukup cerdas untuk tidak melaksanakan hal ndeso yang bisa mengancam nyawanya.
Secara keseluruhan 12 Years A Slave ialah film McQueen yang paling ringan dan bersahabat, namun bukan berarti ia setengah-setengah dalam menghadirkan tema yang diangkat. Steve McQueen benar-benar total dalam menghadirkan kehidupan brutal dan keras yang dialami oleh para korban perbudakan. Kita akan melihat bagaimana mereka para budak dengan enteng disiksa oleh sang pemilik, mereka dicambuk dengan kejam dan tetap dipaksa bekerja meski mengalami luka cambuk yang benar-benar parah. Lihat bagaimana mereka diperlakukan layaknya binatang ketika adegan mandi dimana para budak hanya mandi di halaman berbekal seember air. Atau lihat ketika Theophilus Freeman memamerkan koleksi budaknya untuk ditawarkan pada para pembeli seolah-olah mereka bukanlah insan dan hanya barang dagangan atau binatang yang tidak berharga sama sekali. Sebuah adegan memilukan ialah ketika beberapa menit kita diperlihatkan Solomon tergantung di sebuah pohon tanpa ada satupun orang yang menggubrisnya. Semua orang hanya beraktifitas ibarat biasa, bahkan berlarian dengan ceria di belakangnya memperlihatkan bagaimana wajarnya pemandangan seorang budak kulit gelap tergantung di sebuah pohon.
Iringan musik dari Hans Zimmer ibarat biasa terdengar luar biasa dan berhasil membantu pembangunan suasana. Seperti lagi-lagi ketika adegan hanging around yang diiringi musik yang begitu menusuk indera pendengaran seolah-olah mengajak penontonnya untuk ikut mencicipi kengerian momen tersebut. Saya juga suka disaat beberapa adegan diiringi oleh musik yang hanya berasal dari vokal para pemainnya contohnya ketika Paul Dano bernyanyi Run Nigger Run. 12 Years A Slave memang banyak diisi musik yang hanya berasal dari vokal saja dan hal tersebut membantu terasanya perasaan yang coba dihadirkan dalam adegan-adegan yang ada. Aspek lainnya yakni departemen akting juga tampil maksimal. Meski dipenuhi oleh ensemble cast yang berjejalan, pembagian porsinya terasa seimbang sehingga meskipun ada pemain drama yang hanya tampil sedikit ibarat Brad Pitt dan Benedict Cumberbatch tetap mendapat kesempatan menampilkan penampilan terbaiknya dan turut berperan serta dalam jalinan ceritanya, bukan sekedar numpang lewat sebagai huruf tidak penting. Michael Fassbender dan Paul Dano pun tampil begitu baik sebagai antagonis yang kejam. Khusus bagi Fassbender saya berharap tahun ini Oscar balasannya berpihak padanya.
Tapi tentu saja bukan hanya Fassbender yang jadi pencuri perhatian, sebab Chiwetel Ejiofot sebagai pemain drama utama pun tampil begitu baik. Saya begitu menyukai momen tamat film ketika balasannya Solomon mendapat kebebasan bagaimana verbal kebahagiaan, kesedihan, lega dan rasa tidak percaya terasa benar-benar bercampur aduk menjadi satu dan Chiwetel Ejiofot bisa memperlihatkan segala emosi tersebut dengan maksimal. Overall film ini mungkin tidaklah sekuat karya-karya Steve McQueen sebelumnya. 12 Years A Slave terasa lebih dekat dan bermain lebih aman. Namun tetap saja meski ini bukan film terbaik Steve McQuenn, kualitasnya tetaplah anggun dan merupakan salah satu unggulan dalam Best Picture Oscar tahun ini. Benar-benar total menghadirkan keras dan brutalnya perbudakan, film ini juga mengambil sudut pandang yang cukup unik dimana huruf utamanya berawal dari seorang senang dan terpandang gres menjadi seorang budak. 12 Years A Slave juga memperlihatkan bahwa gotong royong setiap orang punya hati nurani, hanya saja mereka terjebak dalam kondisi dan aturan yang berlaku, bahkan orang ibarat Edwin Epps sekalipun yang masih punya rasa iba pada budak yang ia cintai.
Belum ada Komentar untuk "12 Years A Slave (2013)"
Posting Komentar