12 O'clock Boys (2013)
Mendengar istilah "geng motor" niscaya pikiran hampir semua orang tertuju pada segerombolan berandalan yang beramai-ramai menciptakan onar dan mengganggu ketertiban lewat agresi angkuh mereka di atas sepeda motor. Singkatnya, geng motor selalu berkonotasi negatif di mata masyarakat umum. Tapi jangan kira fenomena geng motor hanya terjadi di Indonesia saja, alasannya di Amerika Serikat hal ini juga sudah mendapat banyak sorotan. Salah satu yang paling menarik perhatian yaitu sekelompok geng motor yang melaksanakan aksinya di Baltimore. Mereka yang dikenal dengan istilah dirt-bike riders ini menamakan diri mereka sebagai 12 O'clock Boys. Jadi apa yang dilakukan 12 O'Clock Boys saat sedang beraksi? Apakah mereka menghancurkan toko-toko? Apa mereka memperabukan sesuatu? Apa mereka memukuli orang-orang? Jawabannya tidak. Mereka memang melaksanakan kebut-kebutan di jalan tanpa menggunakan helm ataupun pengamana lainnya, tapi mereka tidaklah melaksanakan aksi-aksi kriminal ibarat yang saya sebutkan diatas. Mereka melaksanakan freestyle di tengah jalan raya yang memang membahayakan bagi mereka maupun pengguna jalan lain, tapi secara keseluruhan tidak melaksanakan tindak kejahatan. Tapi tetap saja agresi mereka meresahkan dan dianggap berbahaya, apalagi sesudah adanya perkara maut jawaban kecelakaan pada ketika mereka beraksi.
Pihak kepolisian Baltimore sendiri tidak bisa berbuat banyak alasannya mereka dihentikan untuk melaksanakan agresi pengejaran jawaban dianggap terlalu berbahaya. Bahkan walaupun helikopter sudah dikerahkan, para 12 O'Clock Boys yang populer begitu membenci polisi masih sulit untuk diringkus. Tapi dalam filmnya ini, Lotfy Nathan tidak hanya berfokus pada 12 O'Clock Boys dan segala agresi mereka di jalanan, melainkan banyak berfokus pada sosok bocah berjulukan Pug. Sudah sedari usang Pug sangat menyukai motor dan bermimpi akan menjadi salah satu anggota 12 O'Clock Boys suatu hari nanti. Karena itulah Pug selalu mengisi hari-harinya merawat motor, berlatih melaksanakan banyak sekali macam trik, hingga dengan setia melihat para idolanya beraksi di jalan raya. Pug sendiri nampak tidak peduli dengan omongan-omongan mirng perihal 12 O'Clock Boys dan pesan yang tersirat orang-orang di sekitarnya termasuk sang ibu yang tidak oke kalau Pug ingin menjadi salah satu dari para dirt-bike rider tersebut. Yang Pug tahu adalah para pengendara motor itu yaitu orang-orang keren yang videonya selalu ia tonton berulang-ulang dan cita-cita terbesar dalam hidup Pug yaitu menjadi salah satu dari mereka.
12 O'Clock Boys benar-benar menunjukkan perenungan dilematis kepada saya. Di satu sisi sangat gampang untuk menyebut bahwa para dirt-bike riders itu merupakan para pengganggu yang melaksanakan banyak agresi berbahaya yang meresahkan masyarakat. Tentu saja siapapun yang sedang berkendara niscaya terganggu kalau tiba-tiba muncul para pengendara sepeda motor tanpa helm yang melaksanakan kebut-kebutan sambil ber-freestyle ria di tengah jalan. Tidak hanya mengganggu, hal tersebut juga membahayakan baik bagi sang pengendara motor maupun pengguna jalan yang lainnya. Memang sulit menghentikan mereka alasannya kepoliian tidak diperbolehkan melaksanakan pengejaran, tapi kalau semua itu terjadi di sini, di Indonesia ini, maka saya sangat mendukung banyak sekali cara yang dilakukan agar bisa menghentikan mereka meski harus menggunakan sedikit kekerasa sekalipun. Tapi problem yang semakin menciptakan semua ini terasa dilematis adalah, ini terjadi di Baltimore, sebuah daerah dimana kejahatan merupakan hal biasa. Dari beberapa penuturan narasumber di film ini, tidak hanya kekerasan bahkan pembunuhan pun sudah menjadi pemandangan biasa disana. Peperangan antar geng seolah menjadi santapan sehari-hari warga Baltimore.
Lingkungan yang keras dan dipenuhi rasa takut itulah yang pada risikonya berdampak pada psikis orang-orangnya termasuk bawah umur disana. Hal itulah yang pada risikonya menciptakan mereka ingin mencicipi sebuah kebebasan, dan jalan yang dipilih untuk mendapat perasaan bebas tersebut yaitu menjadi dirt-bike riders. Kita akan diperlihatkan bagaimana hal ini sudah menjadi kultur yang begitu dibanggakan di jalanan Baltimore. Bahkan para geng yang biasanga saling bertikai menjadi berdamai dan seolah bersatu ketika sudah melaju bersama diatas sepeda motor. Mereka bukan sekedar kriminal jalanan, melainkan idola bagi para bawah umur Baltimore yang memimpikan sebuah kebebasan tanpa adanya kekangan dan rasa takut akan apapun. Penonton pun diajak mencicipi hal yang sama lewat kemasan visual film ini. Dengan banyak sekali slow motion yang menunjukkan para dirt-bike riders melakuakn trik-trik di jalanan saya seolah diajak untuk melihat bagaimana kebebasan serta kebahagiaan yang mereka rasakan ketika sedang berada diatas roda. Belum lagi ditambah iringan musik yang manis pada momen-momen itu menciptakan tema dan rasa kebebasan serta mimpi-mimpi yang dibawa oleh film ini semakin terasa.
12 O'Clock Boys punya durasi yang pendek, hanya sekitar 75 menit. Tapi Lofty Nathan mampu merangkumnya menjadi sebuah tontonan yang menarik, berjalan dengan tempo cepat, punya dongeng yang kaya dan mampu menjadikan banyak sekali pertanyaan moral serta sosial, kadang bisa terasa menyentuh tapi kadang pula juga terasa menegangkan. Tapi sayangnya ada satu hal yang tidak terlalu dieksplorasi sehingga menjadikan film ini tidak terasa sempurna, hal itu yaitu mengenai ancaman dan dampak-dampak negatif yang sudah dibawa oleh agresi geng motor ini. Mungkin Nathan berasumsi bahwa para penontonnya sudah tahu bagaiana bahayanya agresi ini hanya dengan melihat bagaimana hal itu dilakukan, apalagi misi Nathan di film ini tampaknya yaitu permintaan agar masyarakat umum tidak serta merta menilai jelek para geng motor tersebut. Tapi tetap saja hal ini menciptakan filmnya terasa kurang utuh dan Nathan terlihat terlalu "menyembunyikan" fakta tersebut disaat ia terlalu sibuk berbicara perihal mimpi dan kebebasan yang diagungkan oleh Pug.
Belum ada Komentar untuk "12 O'clock Boys (2013)"
Posting Komentar