Beast Of No Nation (2015)

"There's no such thing as an anti-war film" begitu kata sutradara asal Prancis, Francois Truffaut. Karena bagaimanapun cara pemaparan sang sutradara, kesan glorifikasi terhadap peperangan akan tetap terasa. Sebut saja Saving Private Ryan karya Steven Spielberg. Sekuat apapun horor yang ditampilkan oleh opening sequence ikoniknya, penonton bakal tetap mengingatnya sebagai pertempuran yang epic dan bombastis. Bahkan Apocalypse Now milik Coppola yang begitu berpengaruh mengeksplorasi kerusakan psikis tentara di medan pertempuran pun tetap membuat kita berdecak kagum oleh ledakan yang menghiasi hutan Vietnam. Tapi Beast of No Nation garapan Cary Joji Fukunaga berbeda. Adaptasi novel berjudul sama goresan pena Uzodinma Eweala ini bisa tampil tanpa sedikitpun kesan glorifikasi terhadap apapun. Tidak terhadap kekerasan, tidak terhadap pertempuran, tidak terhadap penggunaan senjata.

Di sebuah negara tanpa nama yang terletak di Afrika Barat, seorang bocah berjulukan Agu (Abraham Attah) hidup sederhana namun senang bersama keluarganya. Dia senang menghabiskan masa kecil bersama teman-temannya sambil sesekali melaksanakan kenakalan menyerupai membongkar frame televisi milik sang ayah untuk kemudian dijual sebagai "televisi imajinasi". Para pemain film ciliknya tampak begitu bersenang-senang disini. Saya suka oepning sequence ini. Memberikan kejenakaan dan kehangatan dipenuhi keliaran imajinasi (dari konten adegan dan cara pengemasan Fukunaga), tapi kita sebagai penonton tahu bahwa horor sedang rahasia mengintai mereka. Perang pun kemudian pecah di desa tersebut. Anak-anak beserta ibu mereka diungsikan, sedangkan para laki-laki remaja tetap tinggal untuk mempertahankan tanah mereka. Malang bagi Agu, minimnya transportasi membuatnya harus tetap tinggal bersama ayah dan kakaknya, terpisah dari sang ibu. 

Kisah Agu semakin tragis ketika ia harus melihat secara pribadi ayah dan kakaknya tewas diberondong peluru. Agu berlari tak tentu arah sampai tersesat di tengah hutan tanpa mempunyai persediaan makan dan minum. Disitulah ia ditemukan oleh pasukan pemberontakan yang menamakan diri mereka sebagai NDF. Pasukan tersebut berisikan mereka yang bukan berasal dari pihak militer Bahkan ada banyak anak kecil seumuran Agu tergabung disana, membawa senapan dan bendo untuk bertempur. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang sepanjang film hanya dipanggil sebagai Komandan (Idris Elba). Sosoknya tidak hanya keras dan berwibawa. Idris Elba sanggup menghadirkan aura yang membuat Komandan bagaikan seorang legenda, sebuah tokoh mistis. Pasukan NDF pun begitu memujanya. Tidak mempunyai pilihan lain, Agu pun terpaksa bergabung menjadi salah satu pasukan NDF.
Kita mulai diajak melihat perubahan dalam kehidupan serta kepribadian Agu. Pada awalnya ia ialah bocah yang taat beragama. Hal itu ditunjukkan dengan beberapa voice over Agu tengah memohon, bertanya, dan segala bentuk interaksi lain kepada Tuhan. Beast of No Nation menggambarkan bagaimana situasi perang menghancurkan masa kecil seorang anak. Dari anak baik-baik, Agu dipaksa melaksanakan pembunuhan pertamanya, sampai seiring berjalannya waktu mulai gampang mencabut nyawa insan sambil menghisap ganja. Bersama NDF, Agu menjalin pertemanan bersama seorang bocah bisu berjulukan Strika (Emmanuel Nii Adom Quaye). Strika lebih dahulu bergabung dengan NDF dan telah berpengalaman dalam banyak sekali peperangan dan pembunuhan. Awalnya Strika nampak sebagai anak tak berperasaan. Tapi kedekatannya dengan Agu menyadarkan kita bahwa mereka tetaplah dua orang anak kecil yang menginginkan kesenangan, merindukan canda tawa kebahagiaan kala bermain bersama kawan.

Filmnya menawarkan eksplorasi mendalam ketika Agu mulai tersesat di tengah kebingungan pikirannya. Disatu sisi ia selalu teringat bahwa pembunuhan itu salah di mata Tuhan, tapi disisi lain keberhasilan brainwashing dari Komandan membuatnya meyakini semua itu perlu dilakukan demi negara. Voice over banyak digunakan untuk memunculkan sisi dilematis Agu. Sayangnya, meski terkadang cukup efektif sebagai alat eksplorasi, tidak jarang saya merasa kalimatnya terlalu puitis. Indah memang, tapi bertolak belakang dengan tone keseluruhan film sampai membuat distraksi. 
Cary Fukunaga memang menghadirkan perjalanan itu secara raw dalam semua sisi, amat jauh dari kesan drama puitis. Tidak ada perjuangan menghadirkan kekerasan dan peperangan secara stylish. Efeknya, horor yang ditampilkan pun nyata. Darah yang tumpah dan ajal seolah bukan rekayasa sinema. Beberapa adegan menyerupai ajal abang Agu atau ketika Agu membelah kepala orang dengan bendo memunculkan rasa mual dan kengerian serupa menyerupai ketika saya menyaksikan footage eksekusi orisinil yang banyak beredar di internet. Pemilihan nama-nama tak dikenal yang lebih banyak didominasi belum mempunyai pengalaman akting merupakan keputusan berisiko namun menerima hasil setimpal. Tidak hanya mereka (khususnya Abraham Attah) bermain bagus, tapi turut menguatkan kesan natural yang memang ditonjolkan oleh Fukunaga. Beast of No Nation akan bisa membuat penonton mensyukuri betapa beruntungnya nasib mereka tidak harus tinggal di kawasan penuh konflik menyerupai Agu. 

Memang ada Idris Elba sebagai nama besar, tapi kehadirannya bukan sekedar untuk meningkatkan nilai jual. Sosoknya sebagai pemain film berpengalaman memang diharapkan demi menghidupkan sosok Komandan. Saya sudah sedikit menyinggung bagaimana kemampuan Elba membuat Komandan layaknya sosok myth. Saya akan percaya bila ia disebut sebagai seorang legenda, bayangan hitam yang bersembunyi di tengah hutan untuk menghancurkan satu per satu pasukan musuh tanpa bisa disentuh. Tapi seiring film berjalan kita pun mulai mengenal Komandan sebagai insan biasa. Seorang laki-laki yang justru begitu rapuh, frustrasi mengejar kebesaran diri daripada serta merta ingin menghancurkan musuh demi kedamaian negara. Elba pun dengan mulus menghidupkan sosok ringkih sang Komandan. Dari seorang keras berwibawa menjadi seorang keras yang penuh omong kosong. Nominasi Oscar untuk Best Supporting Actor harus diberikan padanya.

To put it simply, "Beast of No Nation" isn't an easy movie to watch. Suasana brutal dan tragis yang berpengaruh menjadikannya pengalaman menonton yang jauh dari kesan enjoyable. Tapi disitulah kekuatannya. Beast of No Nation merupakan citra faktual terhadap sisi keras kehidupan dan direnggutnya kebahagiaan oleh peperangan. Bagaimana seorang penyelamat dan pemimpin macam Komandan kemudian menjadi seorang penjahat perang. Bagaimana seorang bocah menyerupai Agu kemudian bermetamorfosis seorang pembunuh berdarah dingin. Watch this movie, and you'll see the horror of war.....also the horror of life.

Belum ada Komentar untuk "Beast Of No Nation (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel