Wa'alaikumsalam Paris (2016)
Sudahkah tidak ada harapan bagi film religi tanah air? Bermodalkan nama Ifa Isfansyah dan twist pada genre tersebut, harapan sempat muncul untuk Pesantren Impian sebelum risikonya berujung kekecewaan mendalam. Talak 3 cukup menghibur tapi lebih akrab sebagai satir sosial daripada sepenuhnya sajian religi. Lalu muncul trailer menjanjikan dari Wa'alaikumsalam Paris berkat tone komedik serta chemistry menjanjikan Velove Vexia da Nino Fernandez. Ditambah lagi keberadaan Benni Setiawan yang tahun kemudian menghasilkan Toba Dreams (one of the best Indonesian movie last year) sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Berhasilkah film ini mengembalikan iman saya terhadap genre religi?
Itje (Velove Vexia), gadis desa asal Bojong gres saja menikah dengan laki-laki asal Prancis berjulukan Clement (Nino Fernandez). Bagi Itje, menikahi Clement sanggup mewujudkan impiannya menjalani hidup secara lebih baik di Paris. Kedua orang tuanya pun selalu membangga-banggakan "keberhasilan" puteri sulung mereka menikahi bule kaya raya dan tinggal di luar negeri. Namun setibanya di Prancis, angan-angan Itje untuk memandangi keindahan Paris kemudian belanja barang-barang glamor seketika pupus tatkala mendapati bahwa Clement hanya seorang petani anggur di desa terpencil. Pernikahan mereka diuji tatkala Itje terus mengutarakan kekecewaannya sedangkan Clement -sebagai mualaf- berusaha keras menjadi suami baik sesuai pedoman Islam.
Selain menggurui, salah satu penyakit film religi Indonesia yaitu abjad yang terlampau sempurna. Memang begitu idealnya insan berdasarkan agama, tapi sebagai abjad film, bentuk demikian menciptakan karakternya menjadi asing, tidak relatable dengan penonton. Ujungnya, pesan berupa "be a better person" sulit diterima. Wa'alaikumsalam Paris menggunakann jalan lebih universal guna menuturkan pesannya, dan tiada ada hal lebih universal selain cinta. Bisa dibilang Clement yaitu "suami idaman". Bukan sekedar tampan, dia juga baik serta amat penyabar. Terlalu sempurna? Mungkin. Tapi ada satu pembeda antara Clement dengan tipikal abjad di atas, yakni motivasi.
Clement ingin menjadi lebih baik alasannya yaitu cintanya akan Itje. Walau pada risikonya Tuhan jadi alasan utama, itu merupakan hasil dari proses, tapi awalnya semua didasari oleh rasa cinta. Berkat itu, saya dan mungkin penonton lain yang pernah merasa ingin berubah ke arah lebih baik demi sosok tercinta sanggup mencicipi keterikatan juga memahami motivasi Clement. Hal ini harus dicontoh oleh film religi lain, bahwa untuk berbagi kebaikan tidak melulu harus kaku atau straight to the point. Menggunakan sarana yang lebih gampang diterima orang banyak menyerupai romansa berbalut kejenakaan justru memperlancar penyampaian pesan. Sampai konklusi, pesan film ini sederhana saja: jadilah suami/istri yang baik. Definisi "baik" pun berhenti hingga tataran saling menyayangi dan menerima, bukan menjalankan sunah, pemakaian hijab, dan sebagainya.
Membicarakan cinta tentu tak lepas dari jalinan chemistry Velove Vexia dan Nino Fernandez. Keduanya saling melengkapi, menyempurnakan kombinasi menarik antara dua sosok bertolak belakang. Ada kekuatan dalam tiap interaksi, entah ketika momen dramatik sehinga terasa menyentuh atau komedi pemancing gelak tawa. Padahal sejatinya naskah karya Benni Setiawan kurang cermat menggali korelasi Itje dan Clement, bahan humor pun tidak seberapa menggigit. Namun kedua pemain sanggup memaksimalkan tiap kesempatan, memunculkan romantika anggun sekaligus hangat guna memikat hati saya. Secara individu keduanya sama memuaskannya. Nino tidak berlebihan memainkan sosok laki-laki penyabar, bahkan sanggup menyuntikka dosis sesuai ketika momen drama. Sedangkan Velove menciptakan Itje tetap likeable, senantiasa menggelitik meski menghabiskan lebih banyak didominasi waktu merengek berteriak "Kang Emen!"
Kelemahan memang terletak pada naskah dan perjalanan alur. Begitu minim pendalaman juga seringkali terburu-buru. Lihat saja adegan pembuka sewaktu tanpa perkenalan apapun sudah bergerak cepat menuju kesepakatan nikah Clement dan Itje. Padahal penonton belum tahu siapa mereka atau mengapa keduanya tetapkan menikah. Jika bukan alasannya yaitu dua cast utama, paparan romansa berpotensi cuek alasannya yaitu hal tersebut. Beberapa poin dongeng pun terasa dipaksaka hadir biar alur sanggup bergerak menuju titik berikutnya -paling kentara di ending yang out-of-nowhere. Selain alur, saya juga terganggu ketika gambar film ini sering "pecah" khususnya di adegan outdoor. Ketika film lain dengan setting luar negeri berlomba menghadirkan keindahan visual, kekurangan satu ini tentu amat disayangkan. Memang masih banyak kekurangan dimiliki, namun berkaca pada mengenaskannya kualitas perfilman religi Indonesia, Wa'alaikumsalam Paris bak hujan sehari pasca kemarau berkepanjangan.
Belum ada Komentar untuk "Wa'alaikumsalam Paris (2016)"
Posting Komentar