Rebel Without A Cause (1955)

"Dasar anak zaman sekarang!" Selorohan tersebut tentu sudah tidak abnormal lagi di indera pendengaran dan biasanya merujuk pada tingkah laris muda-mudi yang dirasa kurang baik oleh generasi di atas mereka. Masa pandai balig cukup akal memang dipenuhi keliaran, kenakalan, bahkan seringkali pemberontakan. Bagaimana perilaku tersebut muncul para orang renta hanya bisa "garuk-garuk kepala". Terjadi "pemberontakan tanpa sebab" yang dianggap sebagai manifestasi gejolak darah muda. Salah satu abjad dalam film ini sempat berucap bahwa tingkah itu dikarenakan usia pandai balig cukup akal ialah masa ketika tak ada satu pun hal di dunia ini dirasa cocok oleh seorang anak. Mudahnya, "they're an asshole because that's what they are". Benarkah hanya itu?

"Rebel Without a Cause" membuka kisahnya dalam setting kantor polisi ketika Jim Stark (James Dean), Judy (Natalie Wood) dan Plato (Sal Mineo) ditangkap dengan alasan berbeda-beda. Jim ditemukan tengah mabuk di pinggir jalan, Judy berjalan di malam hari sambil menggunakan riasan tebal dan pakaian mencolok, sedangkan Plato gres menembak anak anjing menggunakan pistol milik sang ibu. Praktis mengkategorikan mereka sebagai anak nakal, tapi anggapan itu berubah begitu ketiganya menceritakan kondisi di rumah masing-masing. Semua problem tadi sesunggunya mempunyai benang merah, yakni kurangnya perhatian orang tua. Setelah itu kisahnya membawa penonton mengarungi mengamati kenakalan tokohnya sekaligus kehidupan pribadi mereka selama 24 jam ke depan.
Melalui naskah buatannya, Stewart Stern meneriakkan bunyi kemarahan pandai balig cukup akal tanpa sekalipun memupuk glorifikasi pada free lifestyle nihilistik yang kerap dimunculkan banyak teen movie masa sekarang. Poin ini terpancar dari penokohan ketiga abjad utamanya. Tentu mereka nakal, sering pula membangkang, tapi Stern bukan menekankan pada hasrat ketiganya untuk bebas namun impian menerima cinta. Pendekatan itu memudahkan penonton membangun ikatan pada abjad berkat adanya paralel antara perasaan mereka dengan kita. Karena semua orang pernah muda, dan anak muda ingin menerima kasih sayang. Maka sewaktu di hadapan kedua orang tuanya yang tengah bertengkar Jim berteriak "You're tearing me apart!", teriakan itu seolah mewakili ungkapan rasa terpendam milik kita semua.

Paparan kisah mengeksplorasi tabrakan antar-generasi sebagai pemicu utama konflik anak dan orang tua. "Rebel Without a Cause" jadi penggambaran bahwa dua generasi berbeda memang tidak ditakdirkan untuk mempunyai kesamaan sudut pandang. Dalam kasus film ini, orang renta urung meluangkan perhatian lebih atau memahami teladan pikir anak mereka, sehingga balasannya tersulut konflik. Memang terkesan lebih membela sisi remaja, tapi bukan jadi soal lantaran film ini murni perjuangan mewakili bunyi mereka, bukan studi kasus bersudut pandang netral. Lagipula tidak ada niatan dari filmnya melaksanakan generalisasi bahwa orang renta selalu salah dan sang anak benar. Konfliknya hanya mengambil sample dalam beberapa keluarga di mana hal itu bertempat.
Semakin besar lengan berkuasa pula status "Rebel Without a Cause" selaku ikon bagi pandai balig cukup akal berkat abjad Jim Stark. Sosoknya pendiam dan lebih menentukan berkeliaran sendiri sebagai akhir tekanan permasalahan di rumah. Namun Jim bukan cowok lemah. Dia hanya menentukan sebisa mungkin jauh dari permasalahan, tapi bukan berarti ia takut melawan para "pengganggu" -and he's really good at it. Pastinya pesona James Dean tak bisa dilepaskan dari keberhasilan Jim menjadi tokoh ikonik. "Rebel Without a Cause" adalah main role kedua Dean -total ia bermain sebagai lead role dalam tiga film- sekaligus mengabadikan namanya di dunia perfilman. Cara bertutur penuh kharisma ditambah luapan emosi menggetarkan, menciptakan Jim Stark tak hanya idola kaum perempuan tapi juga sosok idela impian banyak pria. Sayang, andai Dean tidak meninggal di usia muda (24 tahun, sebulan sebelum film ini rilis) bisa saja beliau menjadi "another Marlon Brando".

Hanya berlangsung selama satu hari satu malam justru makin menguatkan esensi film mengenai kegilaan para remaja. Bayangkan, hanya dalam kurang lebih 24 jam sudah begitu banyak hal (baca: tragedi) mereka lalui. Kisahnya padat, ditambah lagi Nicholas Ray selaku sutradara bisa mengemas beberapa sequence yang bahwasanya predictable jadi suguhan ketegangan demi ketegangan, meski hal ini tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa kita sudah menyimpan kepedulian besar pada tokoh-tokohnya. Hingga lebih dari 60 tahun pasca perilisannya, "Rebel Without a Cause" masih tetap dan akan selalu relevan mewakili situasi sosial masyarakat suatu zaman. Karena hingga kapanpun pandai balig cukup akal beserta konflik antar-generasi intinya selalu serupa.

Belum ada Komentar untuk "Rebel Without A Cause (1955)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel