Eye In The Sky (2015)

Apa saja kebutuhan untuk membangun ketegangan sebuah film? Ledakan bombastis dimana-mana ala Michael Bay? Dentuman scoring pemacu jantung milik Hans Zimmer? Atau kehadiran monster raksasa pembawa kehancuran massal? Nyatanya Eye in the Sky garapan sutradara Gavin Hood hanya membutuhkan adegan seorang gadis cilik menjual roti guna mencekat nafas penonton, menciptakan saya duduk terpaku mencengkeram bangku bioskop. Rasa itu berhasil ia lakukan sembari menyuntikkan konflik dilematis berisi tanya mengenai kemanusiaan juga presentasi perihal "the burden of decision making in an emergency situation". Begitulah proses hadirnya film terbaik 2016 sejauh ini. 

Kolonel Katherine Powell (Helen Mirren) tengah memimpin operasi dengan sasaran para petinggi kelompok teroris Al-Shabaab yang bermarkas di Nairobi, Kenya. Dari udara, gerak-gerik teroris selalu diawasi menggunakan reaper drone di bawah kendali sang pilot, Steve Watts (Aaron Paul). Ditugaskan pula Jama Farah (Barkhad Abdi) selaku undercover agent untuk melaksanakan pengintaian jarak bersahabat menggunakan video bugs. Letnan Jenderal Frank Benson (Alan Rickman) serta beberapa perwakilan pemerintahan Inggris turut menyaksikan jalannya operasi sembari memperlihatkan supervisi. Konflik antara pihak terlibat mulai memanas tatkala fakta mengejutkan diketemukan sehingga memunculkan perdebatan akan bagaimana semestinya misi dijalankan.

Saya takkan mengupas detail adegan "jualan roti" di atas, silahkan alami sendiri cengkeramannya, tapi sungguh mengesankan cara Gavin Hood membangun ketegangan lewat rentetan insiden "sepele". Maksud kata "sepele" di sini ialah ketiadaan hal-hal bombastis. Intensitas tampil melalui pertukaran obrolan cepat berlarut-larut sukses menyulut kecemasan saya, sambil sesekali beralih menuju...well, gadis cilik berjualan roti. Tatkala kesederhanaan macam itu bisa mengaduk-aduk perasaan, terdapat beberapa sebab: kehebatan crafting moment sang sutradara, serta keberhasilan naskah memancing kepedulian penonton baik terhadap abjad maupun paparan konflik, atau dalam film ini ialah konten pembicaraan. Eye in the Sky punya semua itu.
Ketika penuturan Gavin Hood disempurnakan oleh editing dari Megan Gill menjaga alurnya selalu dinamis, naskah karya Guy Hibbert-lah pondasinya. Sebagaimana sumber kesuksesan film dialogue based seperti 12 Angry Men atau The Man From Earth, naskah film ini membuatkan problema sederhana berupa "strike or not" menjadi begitu kaya, dipenuhi dialog-dialog tajam berisi pendalaman tema pula eksplorasi karakter. Mengenai karakter, Hibbert membawa saya memahami alasan atas pengambilan perilaku mereka, bahkan lebih jauh lagi mengombang-ambingkan saya untuk selalu "berganti kubu". Dampak tersebut terang wajib dimiliki oleh film yang mengetengahkan kisah dilematis semacam Eye in the Sky. Walaupun kental unsur militer plus dibumbui politik, rangkaian katanya gampang dicerna lantaran berfokus pada penelusuran moral manusia.

Eye in the Sky memang dipenuhi tanda tanya soal kemanusiaan, dan itu pula sumber kebimbangan, ketegangan, pula pemantik gejolak emosi saya selama menonton. Namun di samping itu, eksposisi terhadap decision making adalah cara filmnya membuatkan konflik sekaligus bukti bahwa Guy Hibbert memperhatikan detail penulisan. Masing-masing abjad seringkali tak bisa mengambil keputusan, entah tanggapan keraguan pribadi (alasan hukum, politik, moral) maupun lantaran tidak mempunyai bunyi mutlak. Coba perhatikan bagaimana tiap tokoh acapkali menolak menjawab atau memberi jawaban normatif tanpa menuntaskan persoalan (ex: silahkan ambil jalan dengan kerugian paling minim). Selalu ada avoidance "berhiaskan" kecemasan atau keraguan, dan Gavin Hood memperkuatnya kala sering memfokuskan kamera pada ekspresi pemain. Alhasil terbuka jalan supaya alurnya berkembang meski sempat dragging selama beberapa menit sebelum klimaks.
Helen Mirren secara passionate menghantarkan setiap line walau sekedar berkata "fuck!", menciptakan saya mempercayai betapa berpengaruh hasrat Katherine menghentikan agresi para teroris hidup atau mati. Terdapat setumpuk layer dalam akting Mirren, menghadirkan tanya apakah sikapnya didasari cita-cita menumpas penjahat ataukah ambisi personal. Alan Rickman ikut memunculkan dua sisi abjad selaku tentara dengan segudang pengalaman menyaksikan kengerian terorisme. Frank ialah ayah seorang puteri yang di waktu bersamaan bisa saja menimbulkan seorang gadis cilik terbunuh. Sekilas Frank nampak berdarah dingin, tapi penghantaran kalimat terakhir Rickman menyiratkan kompleksitas lebih. Ada juga Barkhad Abdi yang sosoknya paling mendekati kesan "pahlawan bersih", menggiring penonton mendukung gerak-geriknya.

Eye in the Sky berjalan lambat minim gebrakan namun sukses mencengkeram berpengaruh tanpa henti. Bukan saja menegangkan, melainkan punya dongeng kaya berselipkan kritik dan pertanyaan akan isu-isu humanisme. Terhampar sindiran menggelitik sekaligus menyakitkan sewaktu kita mendapati nyawa warga sipil tengah terancam, kemudian perdebatan mengenai pengambilan keputusan perlahan naik ke atas, dari prajurit lapangan hingga berujung di jajaran menteri dua negara (Amerika dan Inggris). Perhatikan ketika orang-orang yang tak terlibat pribadi dalam operasi tengah bersantai bermain ping pong (Menlu Amerika) atau bahkan digambarkan komikal, sedang sakit perut sehabis keracunan masakan (Menlu Inggris). Hibbert menyindir kenyamanan para petinggi tersebut di tengah situasi genting hidup-mati manusia. Terasa menyesakkan, apalagi ending Eye in the Sky tidak membiarkan emosi penonton meluap lewat dramatisasi. Sekedar epilog sunyi pengiris hati yang membiarkan citra horor itu terus menghantui.

Belum ada Komentar untuk "Eye In The Sky (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel