Jogja-Netpac Asian Film Pekan Raya - Turah (2016)
Kita mengakibatkan film sebagai escapism. Ledakan bombastis, agresi jagoan super hingga romantika penuh kesempurnaan jadi alat pelarian dari kepenatan hidup sehari-hari. Tapi di sisi berlawanan, film mempunyai fungsi lain yakni jendela bagi penonton guna menyidik realita, entah yang biasa ditemui, terlupakan atau memang jarang diungkap ke permukaan. "Turah" selaku karya debut sutradara/penulis naskah Wicaksono Wisnu Legowo menyuguhkan fungsi kedua, tepatnya menuturkan kisah hidup warga sebuah kampung yang bangkit di atas tanah timbul di Tegal berjulukan Kampung Tirang. Jangankan masyarakat luas, warga Tegal pun banyak yang tak tahu keberadaan kampung tersebut.
Judulnya merujuk pada nama protagonis, Turah (Ubaidillah), yang ibarat penduduk Kampung Tirang lain ialah orang miskin dan mencari nafkah sebagai bawahan Darso (Yono Daryono) juragan setempat. Turah diposisikan menjadi jembatan antara penonton dengan penghuni kampung lain, ada Kanti (Narti Diono), istri Turah yang enggan mempunyai anak, Kandar (Bontot Sukandar) si pengurus kambing, Pakel (Rudi Iteng) ajun Darso, Sulis (Siti Khalimatus Sadiyah) gadis cilik yang sendirian merawat neneknya, hingga Jadag (Slamet Ambari) yang doyan mabuk, berjudi, dan main perempuan. Wisnu cermat menggerakkan alur, mengajak mampir ke tiap rumah secara bergiliran (konon hanya ada 10 keluarga di sana), membuat pemahaman menyeluruh akan kondisi serta dinamika sosial latarnya bagi penonton.
Jadag beserta emosi meluap-luap dan ambisinya melawan Darso memang mendominasi, bahkan punya peranan lebih ketimbang tokoh utamanya sendiri (poin minus filmnya), tapi bukan berarti keberadaan Turah tidak signifikan. Selain menjembatani penonton dan film, Turah yang digambarkan baik hati dan penyabar merupakan hati bagi film ini. Di tengah kemiskinan, kerap ditemukannya jenazah selaku penguat beratnya kehidupan penduduk (di suatu adegan miris nan creepy Turah menemukan jenazah busuk bayi tengah mengambang), hingga dominasi amarah tanpa henti Jadag, Turah kolam penyeimbang, angin segar yang membuatnya tidak nampak terlampau suci. Rasa peduli kepada sang tokoh pun gampang tercipta.
Teknik sinematiknya tanpa gimmick, tapi sang sutradara yang berasal dari Tegal kentara punya pemahaman mendalam soal kehidupan juga kultural setempat. Alhasil bagi saya yang sempat tinggal tak jauh dari perkampungan miskin dengan bahasa Jawa ngapak sebagai logat merasa familiar dengan suguhan di layar. Bagaimana contoh pikir mereka dalam menyikapi situasi seperti ketika Jadag mempertanyakan mengapa tidak naik jabatan walau sudah bekerja selama belasan tahun pula kondisi ketika terjalin interaksi termasuk pertengkaran, semua tampak nyata, dikemas dalam realisme tinggi bermodal kedekatan plus kecintaan sineas akan objek penceritaan.
Para pemeran berperan besar atas terciptanya realita. Contohnya pertengkaran Jadag dengan istrinya, Rum (Cartiwi). Totalitas lisan dan sumpah serapah Slamet Ambari ditambah luapan emosi serta "tantangan" Cartiwi biar sang suami membunuhnya lah alasan mengapa momen tersebut begitu intens, seolah saya tengah menyaksikan eksklusif sebuah pertengkaran dahsyat suami-istri. Obrolan Jadag dan Turah pun selalu menghadirkan tontonan menarik berupa tukar barang obrolan yang saling melengkapi antar dua pembawaan berbeda. Slamet berapi-api, sedangkan Ubaidillah penuh ketenangan menghanyutkan.
Deretan cast-nya merupakan pemeran teater. Wisnu tidak menyia-nyiakan fakta ini, merangkum beberapa obrolan dalam satu take panjang tanpa putus layaknya pertunjukan panggung. Konteks adegan berupa obrolan masyarakat kelas bawah di daerah kerja atau rumah pun memang cukup identik dengan panggung teater. Para pemeran piawai menangani gaya pengadeganan tersebut, bersenjatakan emosi konsisten nan kontinu, dinamika pun hidup. Semakin dinamis tatkala Wisnu tak lupa menyuntikkan humor, mengerti bahwa pendekatan realis memerlukan kejenakaan, alasannya ialah di antara beratnya kehidupan dunia konkret canda tawa tetap sesekali menyeruak hadir. Gerakan kamera dan kebocoran bunyi yang disengaja selaku momen epilog membaurkan fiksi film dengan dunia nyata, seolah menyatakan bahwa apa yang penonton saksikan ialah realita.
Belum ada Komentar untuk "Jogja-Netpac Asian Film Pekan Raya - Turah (2016)"
Posting Komentar