Susi Susanti: Love All (2019)
Film bertema nasionalisme kita cenderung menyerupai mesin, menyuarakan “Indonesia raya!” atau “Hidup merah putih!” secara keras, lantang, tapi kosong. Sedangkan untuk film biografi, keharusan meliputi sebanyak mungkin fase hidup karakternya melahirkan penceritaan tak mulus berbentuk kumpulan segmen. Susi Susanti: Love All menggabungkan keduanya sambil mengatasi kelemahan masing-masing genre, guna membuat salah satu tontonan terbaik tahun ini.
Ditulis naskahnya oleh lima nama: Syarika Bralini, Raditya Mangunsong (Kamulah Satu-Satunya, Viva JKT48), Raymond Lee (Bajaj Bajuri The Movie, Buffalo Boys), Daud Sumolang (Kebun Binatang), dan Sinar Ayu Massie (Sebelum Pagi Terulang Kembali, 6,9 Detik), film ini tidak memaknai nasionalisme secara buta, namun mengajak penonton menelusuri maknanya lewat frasa “love all” yang diucapkan wasit bulutangkis di awal pertandingan ketika kedudukan masih 0-0.
Kisahnya memang melompat mundur ke masa kecil Susi Susanti (Moira Tabina Zayn), tapi itu bertujuan memasang pondasi, bukan didasari fatwa “Agar ceritanya selengkap mungkin”. Pondasi soal bagaimana ia banting setir menekuni bulutangkis serta bagaimana kekerabatan dengan ayah (Iszur Muchtar) dan ibunya (Dayu Wijanto) membentuk Susi sebagai atlet maupun individu. Pondasi yang cukup sebagai bekal sebelum melangkah ke fase remaja Susi.
Nama Susi Susanti (Laura Basuki) melesat cepat, dan berhasil mengharumkan nama bangsa berkat dukungan banyak juara, khususnya di Piala Sudirman 1989 dan Olimpiade 1992, yang menjadikannya pemenang medali emas Olimpiade pertama asal Indonesia. Tapi ini tidak sesederhana “berlatih-juara-semua bahagia”. Sebab ketika itu negeri ini tengah bergejolak. Krisis moneter mencekik, sementara tindak rasisme terhadap warga keturunan Cina semakin gencar. Bahkan meski menjuarai Olimpiade, status kewarganegaraan Susi tak kunjung dipastikan.
Di sinilah Susi Susanti: Love All membuat kalimat “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat” yang dikampanyekan Try Sutrisno (Farhan) bukan sebatas jargon, tanpa harus melontarkan kalimat-kalimat bernada nasionalis. Melalui bulutangkis Susi berguru makna persatuan, kemudian melalui bulutangkis pula ia menyatukan. Dia hargai perbedaan termasuk menjalin kekerabatan baik dengan lawan tatkala para pemimpin bangsa mendengungkan pesan serupa namun bertingkah sebaliknya, yang disindir oleh film ini dalam adegan “senam pagi” yang singkat tapi menggelitik.
Punya cakupan kisah selama belasan tahun, naskahnya bisa memilah titik mana saja dalam hidup Susi Susanti yang substansial untuk diangkat, pun (dibantu mulusnya penyuntingan), jeli menjembatani satu momen dengan lainnya. Contoh terbaik yaitu ketika selepas janji nikah Susi dan Alan Budikusuma (Dion Wiyoko), kerusuhan pecah. Sekilas dua bencana itu tak berkaitan, bahkan (mungkin) tidak terjadi berdekatan, namun muncul dinamika berupa pertentangan antara kebahagiaan dan kepiluan. Bukan cuma keterkaitan narasi yang film ini ciptakan, juga rasa.
Tentu Sim F yang menjalani debut penyutradaraan solo sesudah sebelumnya ambil cuilan menggarap segmen Kotak Coklat di omnibus Sanubari Jakarta (2012) turut berjasa besar. Saya mengenal namanya di kala MTV Ampuh sebagai sutradara beberapa video klip Peterpan menyerupai Menghapus Jejakmu dan Walau Habis Terang. Sim F menunjukan bahwa sutradara video klip tidak hanya mahir bermain visual kala berhasil membangun atmosfer meyakinkan di partai final Piala Sudirman yang sarat intensitas hingga teror mencekam di tengah kerusuhan. Satu-satunya kelemahan justru terletak di visual berhiaskan “filter Instagram” yang menghilangkan kesan organik kisahnya.
Tapi apa guna film biografi tanpa dibarengi akting mumpuni? Laura Basuki bersinar baik di dalam maupun luar pertandingan. Pada final Piala Sudirman kita bisa melihat transisi Susi, dari set pertama yang dikuasai keraguan, kemudian menemukan ketenangan di set kedua, sebelum tampil penuh percaya diri di babak puncak. Pun air mata Laura ketika lagu kebangsaan berkumandang pasca kemenangannya, ampuh menyentuh hati sekaligus memantik nasionalisme. Sedangkan di luar lapangan, seharusnya tiada lagi yang mewaspadai kombinasi Laura Basuki-Dion Wiyoko sebagai salah satu pasangan penghasil chemistry terkuat di perfilman Indonesia, sebagaimana Susi Susanti: Love All berhasil menjadi salah satu film biografi/olahraga Indonesia terbaik dalam beberapa tahun terakhir.
Belum ada Komentar untuk "Susi Susanti: Love All (2019)"
Posting Komentar