Free Fire (2016)
"Free Fire" to shootout is like Steven Spielberg's "Duel" to car chase. Keduanya sama-sama mengambil momen paling dinantikan dalam film aksi, lalu mengembangkannya menjadi bahan feature. Sutradara merangkap penulis naskah Ben Wheatley (Kill List, Sightseers, A Field in England) seolah berkata pada penonton, "Kalian suka baku tembak? Silahkan nikmati 90 menit parade desingan peluru". Pasca horor psikologis, horor psychedelic, komedi hitam, hingga satir dystopian drama, Free Fire makin memperkaya warna filmografi sang sineas asal Inggris.
Bertempat di sebuah gudang di Boston tahun 1978, filmnya mengisahkan dua anggota IRA (Irish Republican Army), Chris (Cillian Murphy) dan Frank (Michael Smiley) yang hendak membeli senjata dari Vernon (Sharlto Copley). Turut hadir pula Justine (Brie Larson) selaku penghubung dua belah pihak. Namun bahkan semenjak dibuka oleh Ord (Armie Hammer) pertemuan ini sudah bermasalah ketika Vernon tidak membawa senjata sesuai pesanan. Konflik makin memanas akhir terungkapnya sebuah fakta, memecah baku tembak di antara mereka. Tidak ada hero di sini, hanya dua kubu kriminal yang tak segan menumpahkan peluru.
Penggemar Quentin Tarantino dan karya-karya awal Guy Ritchie (Lock, Stock and Two Smoking Barrels, Snatch) akan terpuaskan oleh bagaimana Wheatley membangun intensitas di satu lokasi berisi tokoh-tokoh asing yang gemar bersumpah serapah dan bertingkah kasual sembari saling tembak kolam sedang menikmati keseruan bermain bersama teman. Wheatley memang tidak berniat mengakibatkan Free Fire gelaran serius. Entah gaya deadpan Armie Hammer, kepiawaian Sharlto Copley memerankan tokoh bodoh, perilaku histeris Brie Larson di beberapa kesempatan, maupun komedi hitam berupa tukar barang peluru yang bagai menggantikan bahasa verbal pertengkaran karakter adegan Justine dan Harry (Jack Reynor) ialah teladan terbaik setia memancing tawa.
Naskah hasil goresan pena Ben Wheatley bersama Amy Jump amat kaya dalam perbendaharaan kalimat, kesudahannya karakternya ibarat mempunyai ratusan cara guna mengungkapkan ajukan atau luapan perasaan. Walau sejatinya lebih banyak didominasi huruf tampak homogen, tidak seberwarna kata-kata yang terlontar dari lisan mereka, tak jadi dilema sewaktu interaksinya konsisten membuat banter menarik.
Seperti telah disebut, Free Fire adalah perjuangan transformasi satu aspek film agresi (shootout) menjadi sorotan utama. Peristiwa yang umumnya berlangsung 10 hingga 15 menit diperpanjang berkali lipat, dan tak pelak memunculkan dilema terkait tensi. Pembukaannya efektif menanam benih konflik yang dieskalasi sedikit demi sedikit sebelum memuncak ketika tembakan pertama meletus. Berikutnya, repetisi gagal dihindari, alasannya ialah Free Fire memang punya alur tipis yang disusun potongan-potongan situasi yang bisa menarik andai Wheatley menekankan pentingnya suatu tujuan, fokus di pergulatan untuk mencapainya. Tapi kecuali momen "berebut telepon", sederet perjuangan huruf (menggapai koper, bergegas menuju daerah perlindungan, dll.) karam dalam baku tembak acak yang meski "berisik", minim variasi dan gaya.
Free Fire jelas mengasyikkan, namun kurang soal balutan ketegangan akhir ketiadaan "ancaman" pada shootout-nya. Karakternya kerap kena tembak, terpaksa susah payah menyeret tubuhnya ke sana kemari lantaran terluka, namun tak hingga meregang nyawa. Penonton pun akan santai saja mendapati seseorang tertembak, toh ia bakal baik-baik saja, setidaknya hingga 15 menit terakhir kala Wheatley mulai memalsukan skala, menggunakan cara lain selain lesatan liar peluru, serta menyelipkan adegan brutal nan menyakitkan. Andai second act-nya mempunyai kegilaan serupa, pasti Free Fire lebih menggigit. But this is still such a hillarious, chaotic yet fun "bang bang bang" parade.
Belum ada Komentar untuk "Free Fire (2016)"
Posting Komentar