Jalanan (2014)
Pengamen. Tentu saja mereka selalu ikut mewarnai keseharian kita. Ada yang merasa kehadiran para pengamen menjadi hiburan sejenak dikala macet atau menunggu lampu merah berganti menjadi hijau, tapi banyak juga yang tidak suka dengan kehadiran mereka yang dianggap mengganggu ketertiban. Daniel Ziv melalui dokumenternya ini coba menangkap kehidupa para pengamen, para musisi jalanan yang hidup di tengah hiruk pikuk dan kerasnya kehidupan ibu kota Jakarta. Melalui Jalanan, Daniel Ziv akan mengatakan bagaimana ketiga tokoh utamanya hidup sebagai pengamen, berusaha bertahan hidup dan mencari uang dengan cara mengamen dari satu bus ke bus lainnya sambil sesekali bicara wacana hidup, negara, bahkan cinta. Film ini sendiri berhasil meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik dalam ajang Busan International Film Festival tahun 2013 lalu. Ketiga pengamen yang kehidupannya dijadikan fokus yaitu Boni, Ho dan Titi. Ketiganya punya nasib yang sama, merantau ke ibukota untuk mencari uang dan menentukan hidup di jalanan sebagai pengamen. Mereka pun juga mempunyai mimpi yang sama, yaitu mendapat kehidupan yang jauh lebih baik, khususnya bagi orang-orang yang mereka sayangi.
Melihat tampilan luar mereka mungkin banyak yang akan menganggap sebelah mata ketiganya. Melihat Boni yang penuh tato atau Ho dengan rambut gimbalnya akan banyak orang yang memandang mereka tidak lebih dari sekedar preman yang hidup seenaknya, bahkan mungkin mengasosiasikan mereka sebagai kriminal yang lebih baik digaruk satpol pp saja demi ketertiban lingkungan. Sedangkan melihat Titi mungkin banyak yang mencibir ketika melihat seorang perempuan menentukan mengamen sebagai sumber penghasilannya. Kemudian film ini perlahan mulai berjalan, mulai mengajak kita berkenalan dengan ketiganya secara lebih dalam. Kita akan tahu bagaimana Boni yang tinggal di bawah kolong jembatan dan harus kelabakan ketika banjir datang tetap merasa hidupnya senang bahkan merasa kolong jembatan itu yaitu Grand Hyatt. Siapa juga yang menyangka bahwa di balik tampangnya yang sangar, Ho punya sisi romantis dalam dirinya yang rela menabung berhari-hari untuk mengajak perempuan pujaannya makan di warung Padang. Sedangkan Titi akan menciptakan kita terenyuh dengan perjuangannya mencari uang untuk menghidupi belum dewasa serta kedua orang tuanya di kampung meski sempat ditentang ketika menentukan menjadi pengamen. Tidak hanya itu, ia juga masih menyimpan hasrat besar untuk menuntut ilmu ibarat yang terlihat ketika Titi bersiap mengikuti ujian paket C.
Jalanan atau yang punya judul Bahasa Inggris Streetside ini berjalan dalam periode lima tahun. Kita akan melihat apa-apa saja yang terjadi dalam kehidupan mereka bertiga selama lima tahun. Film ini begitu hebat dalam mengajak penontonnya menelusuri kehidupan mereka bertiga. Dengan gampang aku pun diajak begitu menikmati narasinya dan balasannya bersimpati terhadap trio Boni-Titi-Ho. Mereka berhasil menciptakan aku tertawa dengan segala lelucon, tingkah kocak hingga celotehan seenaknya yang rutin mereka lontarkan khususnya dari sosok Boni. Saya pun dibentuk tersentuh oleh dongeng mereka yang nampak tidak pernah mengalah meski kehidupannya nampak berat. Nampak? Kenapa aku katakan nampak? Bukankah jelas-jelas hidup mereka berat? Tunggu dulu, mungkin bagi kita yang hidup berkecukupan, kehidupan ibarat yang dijalani mereka bertiga tampak begitu berat, tapi melihat ketiganya aku sama sekali tidak mencicipi adanya keluhan dan keputus asaan. Mereka selalu menikmati apa yang mereka miliki ibarat Boni menganggap rumah kolong jembatannya sebagai hotel bintang lima. Tapi disisi lain mereka tidak pernah berhenti berusaha untuk mendapat hidup yang lebih baik kelak. Teakhir, aku pun diajak merenung khususnya oleh omongan-omongan ketiganya soal hidup bahkan negara.
Ah, bukankah kritikan wacana negara, korupsi dan segala macamnya sudah biasa kita dengar? Memang, tapi apa yang tersaji di Jalanan begitu jujur. Tidak ada keluhan yang muncul hanya untuk sekedar terlihat kritis. Keluhan yang muncul wacana kondisi negara yang carut marut keluar alasannya yaitu mereka bertiga benar-benar sudah mengalaminya langsung. Mereka mencicipi pribadi efek dari korupsi yang terjadi dan efek dari segala tindakan tidak sempurna dari pemerintah khususnya yang berkaitan dengan kegiatan menyangkut orang-orang tidak bisa secara bahan ibarat mereka. Itulah yang begitu aku suka dari film ini. Film ini jujur dan apa adanya. Tidak ada yang ditutupi, dikurangi apalagi dilebih-lebihkan. Semuanya jujur. Mungkin mereka tidak terpelajar, tap mereka jauh lebih berakal dari banyak orang yang mempunyai jabatan tinggi. Mereka mungkin tidak kaya harta, tapi mereka punya hati yang sungguh kaya. Mereka mungkin bukan orang yang taat agama, tapi mereka lebih menghargai hidup dan segala isi kehidupan dari banyak orang jago agama yang aku kenal. Saya menyadari semua itu lewat celetukan, curhatan dan teriakan yang aku dengar sepanjang film. Kebanyakan pun tertuang dalam lagu yang mereka ciptakan. Lagu jujur yang tercipta bukan untuk sekedar mencari uang tapi lebih untuk memenuhi hasrat mereka berkarya dan berkesenian.
Dengan cermat, Daniel Ziv merangkum proses lima tahun ini menjadi sebuah sajian yang mungkin tidak mempunyai teknis luar biasa tapi di dalamnya terkandung makna yang begitu mendalam. Jalanan merupakan satu dari sedikit film Indonesia yang ketika menontonnya terpancar rasa yang luar biasa kuat. Rasa yang muncul alasannya yaitu kejujuran baik dari konten maupun perasaan yang dibawa oleh sang pembuat filmnya. Jelas ini merupakan sebuah dokumenter yang sangat bagus, alasannya yaitu tidak hanya memberika gosip yang lengkap, tapi juga mampu menciptakan penonton terikat dengan karakternya. Bahkan untuk aku pribadi film ini sukses merubah beberapa cara pikir aku untuk menyikapi fenomena anak jalanan khususnya pengamen. Beberapa adegannya sukses menciptakan aku merinding dan terentuh bahkan walaupun ditampilkan dengan teknis yang begitu sederhana. Ketiga abjad yang ada masing-masing punya waktu sendiri untuk "bersinar". Ada tiga kepala, tiga kehidupan bahkan tiga sudut pandang tapi bergotong-royong semuanya satu. Semuanya sama, ibarat kita para insan yang meski punya tingkat sosial yang berbeda bergotong-royong kita semua sama, kita semua satu. Sungguh Jalanan lewat Boni-Titi-Ho mampu menciptakan aku terpana dan mempermainkan perasaan saya. Saya pun baiklah dengan tagline film ini, bahwa di Jakarta masih ada harapan. Bahkan di Indonesia masih ada harapan!
Belum ada Komentar untuk "Jalanan (2014)"
Posting Komentar