Jogja Asian Film Festival: Layu Sebelum Berkembang (2014)

Bukankah masa bawah umur harus diisi dengan kesenangan? Tetap harus ada pendidikan menyerupai apapun yang mereka terima, tapi pada pada dasarnya jangan hingga seorang anak kehilangan kesenangan yang hadir pada masa itu. Tapi lihat yang terjadi kini ini khususnya di Indonesia. Seorang anak yang masih ada di kursi sekolah dasar atau bahkan taman kanak-kanak sudah diberi beban pelajaran dan kiprah seabrek yang menciptakan mereka tidak punya waktu lagi untuk sekedar bermain bersama teman-teman. Seolah belum cukup beban dari institusi pendidikan formal, banyak dari orang renta yang menyuruh anak mereka ikut bimbingan mencar ilmu dan banyak sekali macam les yang harus dijalani hampir setiap sore sepulang sekolah. Memang gila, sebab ditengok dari usia psikis mereka, bawah umur SD terperinci belum siap untuk menanggung semua beban itu. Jika pun memang siap, beliau akan sangat berpotensi kehilangan kebahagiaan masa kecilnya. Semua masih ditambah lagi dengan dipaksakan masuknya pendidikan agama sedari SD. Tentu saja pendidikan agama sangat penting, tapi jikalau itu dikemas layaknya iktikad yang mengekang bahkan hingga memasukkan pelajaran agama sebagai ujian nasional, tentu saja patut dipertanyakan.

Kemarahan akan banyak sekali problem itu yang mendorong Ariani Djalal untuk menciptakan dokumenter Layu Sebelum Berkembang (Die Before Blossom) ini. Filmnya mengambil subyek dua orang anak yang bersekolah di SD Ungaran 2, Yogyakarta. Mereka berjulukan Kiki dan Dilla. Kehidupan mereka berdua banyak diisi dengan acara dari sekolah, apalagi ketika mereka telah duduk di kursi kelas 6 dan semakin mendekati hari ujian nasional. Ujian nasional bagi siswa Sekolah Menengan Atas saja sudah terasa berat, apalagi bagi Kiki dan Dilla yang masih SD. Mereka masih jauh dari kata siap untuk mendapatkan segala tekanan yang hadir, apalagi nilai ujian nasional juga akan dipakai untuk registrasi SMP. Yang mereka hadapi tidak hanya UN tapi juga UAS yang berisikan ujian ekspresi dan praktek selama seminggu penuh. Beban semakin bertambah ketika pelajaran Agama Islam turut dimasukkan kedalam salah satu bahan UN. Dimasukkannya pelajaran agama seolah semakin mengentalkan suntikan agama di sekolah dasar, sebab hampir semua aspek disana selalu diselipkan faktor agama, bahkan di pelajaran lain sekalipun, salah seorang guru berujar, "tahun kemudian siswa yang nilainya anggun ialah mereka yang takwa". Seolah-olah pihak sekolah secara tidak eksklusif menyampaikan "mereka yang bernilai anggun itu rajin ibadah, yang bernilai jelek malas beribadah"
Saya termasuk pihak yang tidak baiklah dengan pelaksanaan Ujian Nasional sebagai faktor terbesar penentu kelulusan, apalagi jikalau itu diterapkan pada bawah umur sekolah dasar. Anak-anak yang kurang lebih berusia 11-12 tahun ini terperinci belum siap menghadapi teknana sebesar itu. Tekanan ketika dua jam waktu ujian menjadi penentu masa depan mereka. Bahkan dalam sebuah adegan seorang guru menyatakan hal itu di depan murid-muridnya. Bukankah itu akan menciptakan mereka semakin terbebani? Anak 12 tahun diberikan beban sebesar itu tanpa pembekalan yang menguatkan mental mereka??? Apa yang dilakukan oleh para guru disitu? Rutin menegaskan mereka harus beribadah rutin, terus berdoa, bahkan kalau perlu puasa sunah, sebab jikalau malas ibadah mereka akan menerima nilai buruk. Jangan salah, saya tidak sedang memandang rendah pengamalan agama, tapi disaat semua itu disampaikan dengan asal, pembodohan ialah hasilnya. Tanpa mempedulikan perasaan bawah umur itu, yang dilakukan hanya memberi perintah, perintah dan perintah yang bahkan menjurus kearah doktrinasi. Bukankah mengajak berbuat baik juga harus lewat cara yang baik pula? Daripada memperlihatkan "motivasi" dengan cara menciptakan bawah umur menangis menyadari dosa mereka bukankah lebih baik berusaha meringankan beban dan menenangkan mereka?
Layu Sebelum Berkembang sukses mengobrak-abrik emosi saya. Ada tawa melihat kelucuan bawah umur itu, ada haru ketika melihat usaha berat mereka dan orang renta ketika diombang-ambingkan registrasi Sekolah Menengah Pertama yang menyulitkan, tapi yang paling besar tentu saja rasa murka melihat betapa ngawurnya sistem pendidikan yang diterapkan. Dengan tujuan utama "membentuk insan seutuhnya" apa yang diperbuat sistem pendidikan ketika ini pada bawah umur SD justru menciptakan mereka semakin jauh dari manusia, semakin erat dengan robot. Bagaimana mungkin sanggup membentuk insan seutuhnya jikalau tidak memperlakukan mereka layaknya manusia? Dengan tujuan awal mengkritisi bagaimana penerapan ilmu agama di sekolah dasar, film ini justru berhasil mengeksplorasi dan melontarkan kritikan pada setiap aspek pendidikan negeri ini, setidaknya pada tarah sekolah dasar. Tapi itu bukan berarti film ini kehilangan fokus, sebab kritikan pada aspek agama tetaplah terasa kuat. Satu lagi yang paling besar lengan berkuasa berkaitan dengan kritik agama tentu saja pemasukkan Agama Islam sebagai bahan ujian nasional. Saya tidak tahu apakah benar agama lain tidak diberi bahan ujian, sebab jikalau begitu tentu amat tidak adil bagi kaum minoritas. Bahkan kalaupun diberi, bukankah aneh memperlihatkan nilai ihwal penerapan agama dan ibadah anak? Bukankah benar/salahnya penerapan agama hanya berhak dilakuakn Tuhan? Ataukah mereka sedang berusaha bermain Tuhan?

Banyak ironi yang juga terjadi, sebagai pola ialah orang renta Kiki yang selalu memerintahkan anak mereka untuk taat beragama serta rajin beribadah dan berdoa. Tapi apa yang dilakukan sang ibu menjelang ujian nasional? Membawa serta sang puteri ke daerah seorang "dukun", meminta doa yang berasal dari jampi-jampi bercampur air putih yang ditiup dan pensil 2B yang diberi doa. Banyak dari mereka terasa menyerupai pohon beringin. Dilihat sekilas tampak rindang, sebab tertutup oleh daun-daun dan mahkota besar berupa teori agama, tapi coba lihat lebih dalam, lihat akarnya yang besar dan menjalar tidak karuan di bawah tanah. Sama saja menyerupai bagaimana di dalam diri mereka tersimpan begitu banyak kebusukan dan keburukan yang menggeliat hebat. Hebatnya, tidak pernah sekalipun film ini menyalahkan pendidikan agama, sebab yang dikritik ialah cara penyampaian dan porsi pendidikan itu. Sungguh miris, bawah umur ini ditekan sebegitunya, dibentuk untuk berkompetisi terlalu ketat dengan sahabat mereka sendiri, yang pada alhasil membunuh kebahagiaan masa kecil mereka. Akhirnya kebahagiaan masa kecil itu harus layu sebelum benar-benar berkembang membentuk mereka. Sebuah dokumenter yang dibentuk sebab amarah Ariani Djalal dan sanggup menularkan amarah itu pada para penontonnya. Sejauh ini ialah film terbaik yang saya tonton di JAFF 2014.

Belum ada Komentar untuk "Jogja Asian Film Festival: Layu Sebelum Berkembang (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel