Cold In July (2014)

Bagi saya 2014 merupakan salah satu tahun keemasan bagi film-film slow burning thriller dimana Blue Ruin (review) masih jadi jawaranya. Ada begitu banyak thriller elok yang bisa menghadirkan intensitas tingkat tinggi meski berjalan dalam tempo lambat. Berfokus pada studi karakter, film-film tersebut tetap bisa menghadirkan ketegangan yang menggigit secara perlahan serta aneka macam letupan-letupan mencekam. Cold in July garapan Jim Mickle yang juga merupakana daptasi novel berjudul sama karangan Nick Damici ini juga melaksanakan pendekatan yang sama pada sajian crime-thriller yang hadir. Tidak terlalu banyak letupan, lebih banyak menghadirkan momen membisu yang berisikan lisan ataupun gestur karakternya meski tetap ada darah dan peluru yang dimuntahkan oleh senapan-senapan. Filmnya dibuka di sebuah tengah malam, tepatnya di rumah Richard Dane (Michael C. Hall) yang ketika itu tengah tidur lelap bersama sang istri, Ann Dane (Vinessa Shaw) hingga sebuah bunyi misterius membangunkan keduanya. Richard pun menyidik keluar kamar sambil membawa sebuah senapan meski ia dihinggapi rasa takut yang luar biasa.

Karena rasa takut itulah ketika risikonya ia memergoki seorang laki-laki tengah berada di ruang tengah, tangannya yang gemetar itu secara refleks menarik pelatuk senapan, membunuh sang penyusup dengan sekejap. Meski telah diberitahu oleh Sheriff Ray Price ((Nick Damici) bahwa sang penyusup ialah Freddy Russell, seorang buronan yang telah usang dicari pihak kepolisian tapi Richard tetap dihinggapi rasa takut dan bersalah. Apalagi sesudah warga kota mulai membicarakan agresi "heroik" tersebut. Kegelisahan Richard semakin bertambah ketika ia memutuskan tiba ke pemakaman Freddy dan bertemu dengan Ben (Sam Shepard), ayah Freddy, seorang mantan narapidana yang sekarang masih dalam status bebas bersayarat. Ben secara tidak eksklusif pun mulai mengancam Richard bahwa ia akan meneror dan membunuh putera tunggalnya yang masih kecil. Meski pihak kepolisian sudah berjanji akan menawarkan donasi 24 jam pada ia dan keluarganya, Richard yang memang dikenal sebagai seorang pengecut terus menjalani harinya dengan kegelisahan, tanpa tahu bahwa ia sedang menjadi korban sebuah konspirasi.
Cold in July khususnya pada bab awal penuh dengan aneka macam kelokan yang mendadak tanpa bisa diduga kehadirannya. Berbagai twist menghiasi paruh awalnya dan itu hadir dalam jangka waktu yang cukup berdekatan. Makara gres saja kita mendapat suatu kejutan, tidak usang kemudian muncul kejutan lain. Hal itu "menyulap" film yang intinya bertempo lambat ini jadi terasa cepat. Cold in July pada bab awalnya pun menjadi sebuah tontonan luar biasa dengan berfokus pada bagaimana Richard menghadapi kegelisahan hingga risikonya harus berkonfrontasi dengan Ben. Fase ini ditutup dengan adegan luar biasa ketika sosok Ben "berhadapan" dengan para polisi untuk menyelinap kedalam rumah Richard di tengah malam yang dihiasi hujan deras dan petir menyambar. Sebuah adegan yang cukup mengingatkan saya pada adegan dalam Blue Ruin ketika sang aksara utama tengah menunggu para pembunuh tiba ke rumahnya. Dieksekusi dengan begitu baik, momen itu terasa ibarat sebuah ajang showdown yang begitu intens. Lalu kemudian arah plotnya berubah.

Hadir lagi satu buah twist yang secara total merubah fokus film ini dari thriller-kriminal psikologis dengan bumbu balas dendam menjadi tontonan misteri perihal pencarian orang dan perencanaan pembunuhan. Fokus eksplorasinya pun bergeser dari Richard dengan segala kecemasannya menjadi lebih berfokus pada Ben yang masbodoh tapi menyimpan kerumitan dalam diri khususnya berkaitan dengan Freddy, sang putera. Jujur saja daya tariknya agak menurun pada bab ini. Eksplorasi Richard supaya bagaimana pun tetap jauh lebih menarik, sedangkan Ben yang lebih pasif dan misterius jadi terasa kurang mengesankan alasannya ialah karakternya kompleks dan harus mengembangkan fokus pada aksara lain termasuk Richard dan detektif nyentrik Jim Bob Luke (Don Johnson). Tapi meski daya tariknya menurun plus kejutan yang terang berkurang, film ini tetap begitu menarik, apalagi melihat bagaimana Ben dan Richard yang begitu bertolak belakang (kuat/dingin dengan penakut/pecundang) perlahan mulai menunjukkan sisi lain mereka. Ben yang keras mulai menyiratkan melankoli ketika bersinggungan dengan Freddy, dan Richard mulai berani terlibat pada agresi gila Ben dan Jim.
(SPOILER) Disinlah saya berbeda pendapat dengan banyak review mengenai Cold in July dimana banyak orang beranggapan film ini terasa asing ketika Richard yang digambarkan begitu penakut, pengecut dan selalu gelisah diawal justru bersedia ikut serta bersama Ben dan Jim dengan alasan ingin tahu siapa yang bahwasanya ia bunuh. Memang sekilas hal itu terasa tidak masuk akal dan sangat out-of-character, tapi coba pikir lagi, apakah memang itu alasan Richard ingin bergabung? Kenapa beliau yang sudah sempat pulang pada risikonya kembali lagi dan merasa tidak hening dirumah? Apakah hanya alasannya ialah rasa ingin tau dan ingin menyelsaikan sesuatu yang ia mulai? Saya rasa lebih dari itu. Bagi saya alasan utama Richard ikut ialah alasannya ialah ia ingin menjadi seorang pria, seorang kepala rumah tangga yang lebih berpengaruh supaya bisa melindungi keluarganya. Cold in July lebih banyak memakai lisan dan gestur daripada obrolan dan menjadikan interpretasi penonton "diuji". Ada beberapa momen yang bagi saya menunjukkan Richard sudah jengah dengan kegelisahan dan rasa takutnya. Kemudian ketika sempat pulang, ia tidur di kamar bersama Ann, dan tetap tidak merasa tenang. Saat berada disebelah orang tercintanya itulah Richard semakin menyadari bahwa ia harus kembali, untuk bisa menghadapi rasa takutnya. Makara intinya yang menciptakan Richard bertahan bukan rasa ingin tahu perihal siapa yang ia bunuh melainkan guna mendapat keberanian. (SPOILER END)

Jika harus dibandingkan, tentu saja Blue Ruin masih jauh lebih superior apalagi dalam hal menyajikan ketegangan dalam kesunyian, tapi Cold in July tetap sajian yang amat memuaskan. Karakter menarik, akting kuat, intensitas yang terjaga, twist demi twist yang selalu berhasil menawarkan kejutan, hingga musik bernuansa "lawas" garapan Jeff Grace yang menyajikan rock, blues hingga synth 80-an berhasil membangun suasana film dengan begitu baik. Satu lagi slow burning thriller mengesankan tahun ini, bahkan Cold in July tidak hanya punya thriller tapi juga drama psikologis karakter, kriminal, hingga misteri pemeriksaan yang kesemuanya menarik.

Belum ada Komentar untuk "Cold In July (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel