The Jungle Book (2016)

Kemajuan teknologi selalu mengundang pro-kontra tidak terkecuali aplikasi CGI dalam film. Kerap dieksploitasi secara berlebihan, imbas tersebut mulai dipandang sinis bahkan kalah pamor dengan practical effect. Sejujurnya kesalahan bukan terletak di teknologi melainkan kebijakan si pengguna. Beberapa CGI-heavy seperti Avatar atau Life of Pi membuktikan bahwa teknologi itu membuka jalan untuk mendobrak kemustahilan visual pula narasi film. Sayang sajian dengan pemanfaatan CGI tepat guna jumlahnya masih kalah dibanding yang tidak. The Jungle Book garapan sutradara Jon Favreau selaku reimagining film berjudul sama rilisan tahun 1967 ini merupakan satu dari sedikit sajian tersebut. 

Mowgli (Neel Sethi) yakni anak manusia, namun ia tinggal di hutan, dibesarkan oleh serigala berjulukan Raksha (Lupita Nyong'o) yang telah menganggapnya sebagai anak kandung. Mowgli juga sering menerima latihan bertahan hidup di hutan dari Bagheera (Ben Kingsley), macan kumbang yang dulu membawanya untuk dibesarkan oleh kawanan serigala ketika ia masih bayi. Kedamaian mereka terganggu tatkala Shere Khan (Idris Elba) sang harimau buas mengancam akan membunuh Mowgli. Didasari rasa dendamnya, Shere Khan menganggap insan tak boleh tinggal di hutan. Mowgli pun terpaksa pergi menuju desa manusia, sembari di perjalanan terlibat petualangan bersama para binatang ibarat Baloo (Bill Murray) si beruang, Kaa (Scarlett Johansson) si ular piton, hingga Gigantopithecus bernama King Louie (Christopher Walken).
Apabila anda cukup familiar akan kisah The Jungle Book tentu menyadari kesetiaan naskah karya Justin Marks dengan sumbernya. Alurnya masih serupa, tersaji sederhana bertutur mengenai pencarian jati diri. Tidak terdapat kompleksitas di dalamnya, pula gampang ditebak bakal berakhir di mana. Pertanyaannya, perlukah The Jungle Book diubah biar lebih kompleks? Di samping fakta kalau keputusan itu artinya menjauhkan diri dari source material, petualangan Mowgli memang tak perlu dikemas rumit. Sebagai family adventure (walau beberapa scene kematian cukup tragis/brutal), hal terpenting yakni filmnya menyenangkan tanpa melupakan menyuntikkan perasaan. Berpijak dari situ, pencapaian film ini amatlah mengesankan.

Seperti penuturan saya sebelumnya, The Jungle Book bisa memaksimalkan penggunaan CGI. Tengok pemandangan hutan hingga detail tekstur tokoh-tokoh hewannya. Karakter macam Shere Khan dan Kaa turut terbantu berkat detail memukau itu, di mana kesan intimidatif terpancar berpengaruh dari mereka. Dominasi imbas komputer seringkali berpotensi menjadikannya nampak artificial, berkontradiksi dengan tujuan awalnya selaku realisasi kemustahilan visual, tapi film ini berbeda. Dampaknya bukan saja hiburan mata melaikan meningkatnya intensitas adegan. Contohnya adegan sewaktu Mowgli beserta sekumpulan kerbau(?) terjebak longsor yang sukses membuat saya terpaku. Sebagaimana judulnya, visual The Jungle Book meng-capture sempurna tiap sendi kehidupan penghuni hutan.
Berbekal CGI kelas wahid saja bahwasanya belum cukup. Dibutuhkan pula keselarasan dengan visi sutradara. Untungnya Jon Favreau paham betul cara biar filmnya tidak asal pamer kualitas gambar. Untuk itu, Favreau selalu memperhatikan intensitas adegan khususnya tatkala porsi action mengambil alih. Dia tidak sekedar melempar keseruan, melainkan membangun suasana lebih dulu, meningkatkan ketegangan secara perlahan. Klimaksnya jadi bukti nyata, terlebih ketika Baloo si pemalas dengan gagah berani menantang Shere Khan. Mengubah King Louie dari orangutan menjadi Gigantopithecus merupakan pola lain. Walaupun alasan utama sebab orangutan bukan berasal dari India (setting film), ukuran raksasa Louie memfaslitasi momen epic ketika ia bergelantungan di antara reruntuhan. Saya diam, terperangah oleh adegan itu.

Sedangkan pada adegan dramatik, Favreau mungkin tidak sebegitu hebat, tapi di sinilah kemampuan para voice actor mengambil peran. Lupita Nyong'o menyuntikkan besarnya kasih sayang seorang ibu dalam tiap tutur kata Raksha. Kalimat cheesy seperti "you're mine, mine to me" jadi terdengar hangat berkat Lupita. Bill Murray -unsurprisingly- menyeimbangkan unsur komedik dan drama. Baloo sukses memancing tawa, tapi semakin likeable kala menawarkan kepedulian untuk Mowgli. Everybody loves Baloo. Ada pula keberhasilan Idris Elba membuat Shere Khan jadi sosok antagonis mengerikan, juga bagaimana bunyi hypnotic Scarlett Johansson mewakili kemampuan Kaa. Patut disayangkan porsi Kaa terlalu minim. 

Memang benar The Jungle Book adalah paparan sederhana. Tapi bagi saya itu keputusan terbaik, daripada memaksakan biar terlihat lebih pandai namun melupakan esensi dasar kisahnya. Jika kepercayaan anda terhadap CGI mulai luntur, film ini akan mengembalikannya, membawa imbas visual komputer kembali ke hakikat sejati guna memperkuat penceritaan. Berkat kualitas voice acting-nya pula tercipta keseimbangan antara drama hangat dan petualangan menyenangkan.



SPHERE X 3D FORMAT REVIEW
Muncul cita-cita kekuatan visual The Jungle Book bakal termaksimalkan oleh layar besar SphereX. Sayangnya cita-cita itu pupus kala aspect ratio-nya tak hadir maksimal, menciptakan black bar di sisi kanan dan kiri yang cukup mengganggu. Kenapa mengganggu? Karena kelebihan SphereX yakni layar cekung yang bisa membuat cakupan pandang lebih luas. Menghilangkan itu sama saja melucuti keunggulan terbesar format ini. Untung imbas 3D-nya memukau. Detail tekstur aksara bertambah terang khususnya ketika adegan close-up pada Shere Khan. Efek Pop Out-nya pun luar biasa. Salah satu yang paling menonjol yakni kemunculan Kaa. Saya dibentuk merinding, seolah piton ini benar-benar kasatmata di depan saya. Pastikan menonton film ini dalam format 3D, meski untuk SphereX saya tidak terlalu merekomendasikannya. (3.5/5)

Ticket Powered by: Indonesian Film Critics

Belum ada Komentar untuk "The Jungle Book (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel