Pesantren Harapan (2016)

Ada harapan menjulang tinggi teruntuk film terbaru karya Ifa Isfansyah ini. Utamanya terang alasannya ialah usungan genre-nya, yakni perpaduan antara religi dan thriller. Jika anda rutin membaca goresan pena di blog ini, tentu paham betul akan kejengahan saya pada tipikal film religi tanah air yang cenderung doyan menggurui penonton. Gabungan religi dan romansa sudah jamak. Begitu pula komedi. Tapi thriller? Diangkat dari novel berjudul sama buatan Asma Nadia (Surga yang Tak Dirindukan), Pesantren Impian jelas bertengger di jajaran film Indonesia paling saya tunggu tahun ini. Terlebih Ifa sudah mengambarkan kapasitasnya menggarap banyak sekali jenis film, dari Sang Penari sampai sajian semua umur macam Ambilkan Bulan atau Garuda Di Dadaku. Makara kenapa tidak untuk thriller-religi?

Dibuka oleh sebuah pembunuhan misterius, Pesantren Impian memperkenalkan kita dengan Briptu Dewi (Prisia Nasution), seorang polisi muda bermodalkan segudang ambisi dan kepercayaan diri. Demi mengungkap kasus pembunuhan itu, Dewi menyamar sebagai Eni, guna mendatangi usul untuk tinggal di sebuah pesantren di pulau terpencil berjulukan Pesantren Impian. Pesantren tersebut didirikan oleh Gus Budiman (Deddy Sutomo) khusus bertujuan menuntun para perempuan menuju jalan lurus. Termasuk Dewi/Eni, total ada 10 perempuan dari banyak sekali latar belakang (PSK, artis, junkie) tiba di sana. Namun teror mulai menyerbu tatkala satu per satu penghuni pesantren ditemukan tewas mengenaskan. 
Sejak opening credit-nya yang stylish, saya sudah mencium ketidakberesan dalam film ini. Tanpa ada klarifikasi sedikitpun, mendadak Briptu Dewi tetapkan mendatangi Pesantren Impian. Saya tahu, tujuannya ialah untuk memecahkan kasus pembunuhan tadi, namun apa kaitannya dengan pesantren tidak dipaparkan. Sempat menerka klarifikasi memang disimpan rapat guna membangun misteri, faktanya justru berkebalikan. Alur semakin kusut, meninggalkan lebih banyak lubang dan pertanyaan tak terjawab. Berbagai tanya tersebut bukan perjuangan bertutur secara subtil atau menyusun ambiguitas sebagai bab misteri, melainkan murni bentuk kekacauan naskah. 

Film misteri butuh sokongan naskah kuat, biar penonton selalu tertarik merangkai keping-keping puzzle-nya. Andai tersesat pun, pondasi dongeng menjaga minat penonton berpikir keras mencari jawaban. Tapi naskahnya sungguh kacau balau. Jika sedari awal saya tidak tahu apa yang dicari oleh Dewi, bagaimana sanggup timbul ketertarikan? Bahkan di pertengahan film, kasus pembunuhan tadi mendadak dilupakan begitu saja, dijawab seadanya kemudian berpindah menuju konflik baru. Mungkin naskahnya coba menyelipkan red herring (pengecoh), menggiring penonton menuju suatu arah sebelum banting setir ke arah berbeda. Namun daripada kecohan cerdas, yang terasa justru lompatan out-of-nowhere. Begitu film usai, sanggup jadi anda akan resah merangkai bagaimana titik awal "A" sanggup berujung konklusi "B" ketika ending.

Alurnya berjalan terburu-buru, tidak memberi kesempatan mengenal lebih jauh abjad dan misterinya. Pembukaan dan konklusi sama-sama dipaksakan hadir secepat mungkin, menciptakan Pesantren Impian seolah hanya berisi adegan pembunuhan demi pembunuhan. Tidak menjadi problem apabila film ini menempatkan diri sebagai slasher, masalahnya Pesantren Impian coba menonjolkan kompleksitas misteri, di mana dongeng ialah bab vital. Sebagai thriller pun filmnya minim intensitas. Cara Ifa membangun ketegangan kelewat klise, entah bersenjatakan gerak lambat abjad kala ancaman mengintip atau scoring menyayat pengundang rasa kaget. Memandang lewat kacamata slasher juga tak memuaskan, alasannya ialah penyajian momen pembunuhannya terlampau "malu-malu".
Keberhasilan utama film ini justru terletak pada unsur religi yang mungkin bakal sulit diterima masyarakat luas. Pondok pesantren sebagai ajang pembantaian? Adegan pembunuhan ketika abjad tengah menjalankan solat? Keberanian Ifa patut diacungi jempol. Semuanya kolam tamparan bagi sudut pandang dangkal banyak orang khususnya para fanatik. Jika kebanyakan film religi akan berkata "solat, maka semua masalahmu akan tuntas", Pesantren Impian seolah menyatakan "meski ibadah memang bentuk kebaikan berpahala, bukan berarti sepenuhnya menjauhkan dari marabahaya". Bukan berarti menodai kesucian agama, karena di dunia nyata, tindak bengis sanggup terjadi di manapun dan dilakukan oleh siapapun, tak terkecuali di pondok pesantren berisikan jago agama. 

Tiada pula ceramah menggurui walaupun tetap muncul perjuangan menyelipkan pesan lewat kisah Briptu Dewi yang digambarkan tidak religius. Kita diajak mengamati bagaimana perempuan besar lengan berkuasa ini ternyata menyimpan kerapuhan, dan tatkala kondisi makin memojokkan, Dewi pun melemah kemudian kehilangan arah. Dari sinilah unsur religi seharusnya sanggup merasuk secara alami tanpa paksaan alasannya ialah sejalan dengan perkembangan karakter. Sayang, dangkalnya penceritaan turut melemahkan eksplorasi sosok Dewi. Hilang sudah potensi drama mengenai perjalanan tokohnya menemukan "cahaya". Padahal Prisia Nasution telah memberi akting besar lengan berkuasa menimbulkan dua sisi berlawanan dalam diri karakternya tampak believable. Menyedihkan rasanya, mendapati Pesantren Impian bertransformasi dari one of the most awaited movie of the year menjadi one of the most disappointing one



Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Pesantren Harapan (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel