Oops!! Ada Vampir (2016)

Penciptaan karya berbentuk tribute membutuhkan pemahaman menyeluruh akan materi yang bakal diberi penghormatan. Bahkan sudah jadi hukum tak resmi bahwa sang pencipta karya haruslah menggemari objek itu. Tanpa pemahaman dan rasa cinta akan materinya, jangankan penghormatan, karya itu bisa-bisa justru mencoreng nama. Oops!! Ada Vampir karya sutradara Arie Azis ini jadi pola ketika tribute dibuat hanya bermodalkan pengetahuan dangkal sehingga aplikasi terhadap ciri objek yang coba dihormati berakhir di tataran permukaan. Alih-alih memberi tahu penonton kenapa film jiangshi (Vampir Cina) amat menarik hingga sempat berada di puncak popularitas pada tahun 80-an hingga pertengahan 90-an, film ini justru merendahkan genre tersebut.

Oops!! Ada Vampir disajikan lewat alur maju-mundur tanpa substansi maupun alasan estetika kuat kecuali sekedar demi gaya belaka. Intinya, seorang cowok berjulukan Rendy (Rizky Alatas) mendapatkan pekerjaan membawa mayat laki-laki bau tanah (Henky Solaiman), ayah dari Aming (Iszur Muchtar). Rendy melaksanakan itu demi mencuri hati Aming, lantaran belakang layar ia tengah berpacaran dengan puteri Aming, Meylan (Cassandra Lee). Tapi sebuah kecelakaan membuat mayat itu terlempar dari peti, disinari cahaya bulan purnama, dilompati kucing hitam dan risikonya berkembang menjadi menjadi sesosok vampir ganas. Kini semua bergantung pada Suhu Acong (Billy Kheizer) sang pengusir vampir beserta asistennya, Mongol (Mongol Stres), untuk membasmi vampir tersebut.
Kenapa saya sanggup menyebut aplikasi ciri jiangshi di sini dangkal, lantaran Arie Azis hanya asal memasukkan tanpa berusaha mengemasnya secara menarik. Kertas mantera kuning? check. Menahan nafas? check. Adegan agresi pendeta melawan vampir berhiaskan api dan cahaya? check. Karakter ndeso sebagai comic relief? check. Hampir semua disertakan namun sekedar ditumpahkan begitu saja tanpa diolah lebih lanjut. Ibarat masakan, materi bakunya sudah lengkap tapi asal dimasukkan ke dalam penggorengan tanpa tahu tata urutan, timing dan sebagainya. Sayang sekali, padahal dengan modal unsur jiangshiOops!! Ada Vampir bisa berakhir sebagai tontonan unik sekaligus menyegarkan.

Unik, alasannya filmnya punya kebebasan membuat dunia fantasi semau mereka. Keberadaan vampir di Indonesia lengkap beserta para pengusirnya? Sah-sah saja, bahkan sebuah poin plus dari segi kreatifitas. Dari sini, tata artistik semisal setting, kostum, musik bahkan huruf sekalipun sanggup terasa menarik kalau penerapan aspek Tionghoa berjalan baik. Sayangnya, daripada keunikan estetika, Arie Azis justru membuat dunia komikal konyol menyerupai ketika Meylan yang mengenakan baju ala cheongsam justru curhat menggunakan Bahasa Inggris. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan kala Suhu Acong berubah menjadi insan saiya super di klimaks, lengkap dengan kemunculan siluet Son Goku (ini serius). Apa korelasi Goku dan Vampir? Bukankah Dragon Ball berasal dari Jepang? Bukan berarti selipan kultural lain haram, namun totalitas eksplorasi bakal menambah kekuatan setting, karakter, juga cerita. Ada kebingungan budaya di film ini.
Film jiangshi semestinya menakutkan sekaligus lucu di ketika bersamaan. Saya ingat pernah melihat adegan suatu film menawarkan dua karakternya bernafas melalui tiap ujung bambu demi bersembunyi dari kejaran vampir. Saya tertawa melihat tingkah keduanya, tapi juga merinding tatkala sang vampir perlahan mendekat. Begitulah semestinya jiangshi. Karakter boleh bodoh, tapi tetap likeable. Bandingkan dengan tokoh-tokoh film ini yang kebodohannya sungguh annoying, khususnya Rendy. Usaha menyiratkan kisah transformasi protagonis dari pecundang menjadi pendekar gagal total, lantaran hingga selesai Rendy tak berbuat apapun, hanya sanggup marah, menangis, kemudian merengek, juga patut disalahkan atas segala kejadian buruk.

Selain kelucuan, kengerian pun gagal tercipta akhir kurang piawainya Arie Azis membangun intensitas. Adegan menakutkan itu bukan asal memasukkan musik eerie. Framing, tempo pergerakan kamera, juga objek di layar amatlah berpengaruh. Pada film ini, kamera hanya asal menangkap momentum tanpa peduli apakah nampak menakutkan atau tidak. Henky Solaiman sebetulnya tampil tidak mengecewakan sebagai vampir, masalahnya pada lebih banyak didominasi bab -terlebih mendekati akhir- wajah sang pemain film hanya disematkan menggunakan CGI jelek akhir penggunaan pemeran pengganti ketika adegan aksi. Bagaimana saya sanggup ketakutan ketika wajah vampir tidak statis dan berubah-ubah ukuran? Hancurlah potensi Oops!! Ada Vampir, film vampir yang bahkan kurang banyak menghadirkan teror vampir dan kerap berpindah fokus pada romansa Rendy, si protagonis pecundang.


Ticket Powered by: Indonesian Film Critics

Belum ada Komentar untuk "Oops!! Ada Vampir (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel