Negeri Van Oranje (2015)
Penyakit akut bagi film Indonesia yang menjalani proses syuting di luar negeri ialah lebih berfokus pada eksploitasi pemandangan tiap sudut lokasi. Tidak jarang filmnya melupakan kiprah bernarasi dan menyerupai dokumentasi jalan-jalan belaka. Mungkin para pembuatnya beranggapan penonton Indonesia kampungan, gampang dibentuk terperangah oleh suatu negeri asing. Saya berpikir sebaliknya. Para pembuatnya yang kampungan alasannya ialah terlalu kagum, hingga merasa sayang untuk tidak sebanyak mungkin menyelipkan footage tersebut. Materi promosi menuju perilisan "Negeri Van Oranje" karya sutradara Endri Pelita tidak nampak menyerupai itu. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi dan Rizki Pandu Perdana ini terlihat memfokuskan kisah pada lingkup persahabatan serta cinta di dalam pertemanan. Ada cita-cita besar di benak saya. Harapan itu sayangnya tak seutuhnya terpenuhi.
Adegan pertama mengatakan persiapan kesepakatan nikah Lintang (Tatjana Saphira), dimana kita diberi tease bahwa ia hendak menikahi salah satu dari empat sahabatnya. Saya pun mulai menyadari "Negeri Van Oranje" bakal berjalan layaknya tebak-tebakan mengenai siapa yang akibatnya bisa mendapat hati Lintang. Pembukaan yang menjanjikan, alasannya ialah artinya naskah goresan pena Titien Wattimena tahu hendak melangkah menuju ranah eksporasi karakter. Fokus (seharusnya) ditempatkan pada interaksi Lintang dengan masing-masing "calon suami", dan bila dilakukan dengan benar, akan tercipta proses eksplorasi huruf mendalam serta interaksi bernyawa. Tak lama, penonton dilempar menuju setting luar negerinya; Belanda dan kota Praha. Disaat Belanda merupakan kawasan kelimanya mulai menjalin pertemanan, Praha menjadi klimaks perpecahan kala Lintang merasa tersakiti alasannya ialah menjadi materi rebutan dan taruhan oleh sahabatnya.
Alurnya tidak linier, dimana selepas pengenalan konflik di Praha, dongeng terus melompat. Mulai dikala kelimanya pertama bertemu, hingga pemaparan satu per satu kekerabatan antara tokoh laki-laki dengan Lintang. Disinilah misteri dimulai. Penonton "diminta" menebak siapa yang akan dipilih Lintang. Sesekali terdengar voice over-nya, menjabarkan opini mengenai masing-masing pria. Seolah menyerupai petunjuk, tapi baris kalimat yang terucap sesungguhnya pengecoh demi menciptakan penonton terus berpikir. Tidak sulit untuk menebak "siapa", dan semestinya film ini tak berfokus pada hasil akhir, melainkan proses. Sayang, naskahnya justru lebih tertarik menggiring penonton untuk menebak daripada mengeksplorasi proses persahabatan serta detail karakter. Akibatnya perjalanan yang ditempuh berujung hampa. Kehangatan persahabatan pun tak terasa. Saya bagai outsider yang hanya melihat rekaman karakternya jalan-jalan tanpa dipersilahkan masuk lebih jauh untuk mengenal.
Penulisan obrolan jauh dari kesan menarik. Minim eksplorasi serta kreatifitas, alasannya ialah secara umum dikuasai kalimat tidak jauh dari obrolan dangkal santai atau klarifikasi untuk suatu monumen bersejarah. Ya, "Negeri Van Oranje" nyatanya masih terjangkit penyakit "pamer pemandangan". Kita sering melihat kelima karakternya bersama, tapi kebanyakan berupa montage mereka berjalan bersama menikmati pemandangan kota. Memang sinematografi dari Yoyok Budi Santoso cukup well-made, tapi rasanya kosong, tak ubahnya video traveling yang banyak beredar di YouTube (dengan kualitas gambar lebih baik tentunya). Bicara sinematografi, gambar yang ditangkap bergotong-royong memanjakan mata, tapi terganggu oleh pemakaian lens flare atau fake rainbow berlebih. Kenapa tiap matahari harus bersinar begitu "galak"? Kenapa tiap beling bahkan lampu kendaraan beroda empat harus memantulkan cahaya menyilaukan? Pemakaian imbas visual semacam ini tidak keliru, hanya saja disini semuanya nampak palsu. Gambar indah tidak selalu bersinonim dengan cahaya magic hour ala Terrence Malick bukan?
Andai saja "Negeri Van Oranje" tidak dianugerahi jajaran cast berbakat, hancurlah film ini. Tatjana Saphira memang sering datar berekspresi, tapi ia cocok sebagai Lintang. Gadis ini harus menciptakan penonton percaya ia layak diperebutkan empat laki-laki tampan. Melihat paras Tatjana, perebutan itu jadi believable. Sedangkan Banjar (Arifin Putra), Wicak (Abimana Aryasatya), Daus (Ge Pamungkas) dan Geri (Chicco Jerikho) punya karakterisasi berbeda dan keempat aktornya bisa menguatkan perbedaan itu, bukan semata-mata hanya di atas kertas. Banjar si "pria bar-bar" dan Daus yang cerdas tapi konyol ialah sumber komedi. Keduanya tak pernah gagal menciptakan saya tertawa, dan dari situ hiburan terbesar film ini. Menyenangkan melihat Arifin Putra lepas dari tokoh cool yang akhir-akhir ini identik dengan dirinya. Chicco ialah Chicco, yang dengan gampang menciptakan Geri menjadi "the coolest guy on Earth".
Tapi film ini punya sosok berjulukan Abimana Aryasatya, yang tetap menonjol tak peduli harus bersanding dengan siapa atau memainkan naskah sedangkal apapun. Jika anda telah melihat trailer film ini, tentu akan tahu sebaris obrolan yang diucapkan Abimana. Dialog itu berbunyi "cukup satu kejadian, cukup satu". Hanya itu, and I'm sold! Aktor satu ini punya sihir untuk memberi bobot pada seluruh dialog, bahkan yang paling cheesy sekalipun (tengok "99 Cahaya Di Langit Eropa" sebagai contoh). Sihir itu dimunculkan lagi disini. Karakter Wicak yang ia perankan ialah sosok pendiam, tapi begitu bicara bahkan Lintang pun dibentuk kagum. Saya mencicipi hal serupa. Ketiga pemain drama lain tampil baik, tapi puluhan baris kalimat mereka bakal runtuh bila dibandingkan satu-dua baris obrolan Abimana. Pembawaannya santai, tapi tidak lifeless. Matanya sayu namun memberi kedalaman, penuh ketegasan bertutur. Geri boleh jadi representasi "the coolest guy on Earth", tapi Abimana ialah "the coolest Indonesian actor today".
Saya memahami pilihan filmnya untuk berfokus hanya pada persahabatan dan cinta, meminggirkan aspek esensial lain menyerupai usaha menyesuaikan diri di negeri aneh dalam kondisi sederhana. Tapi sekali lagi, itu percuma disaat jalinan persahabatan tak menghadirkan impact emosional kuat. Tapi diluar keburukan itu, izinkan saya memberi pembelaan terhadap premis-nya. Banyak orang beranggapan kisah Lintang ditaksir empat sahabatnya sebagai hal tidak logis. Coba pikir lagi. Anda tinggal di kawasan asing, jauh dari rumah, kemudian bertemu orang-orang satu tanah air. Otomatis tercipta intimasi. Hal itu terjadi pada kelima karakternya. Sedangkan bagi empat tokoh pria, mereka dihadapkan pada Lintang; gadis cantik, berasal dari kawasan sama, hampir rutin mereka jumpai. Mereka kesepian, dan masuk logika jikalau semua menyukai Lintang di waktu bersamaan. Presentase terjadi pada empat orang memang kecil, tapi tidak semustahil kelihatannya.
"Negeri Van Oranje" menjadi pola kasatmata pentingnya kualitas akting dalam suatu film. Disaat naskahnya lemah, fokus melebar kearah "unjuk gigi visual", saya masih bisa menikmati film ini. Saya tertawa pula tersentuh oleh beberapa momen. Bukan alasannya ialah sanksi sutradara atau kedalaman kisah, tapi berkat penghantaran memikat pemain. Bayangkan jikalau para pemain drama diberi naskah lebih berpengaruh untuk mewujudkan premis film ini. Saya yakin, jikalau kekuatan itu dipenuhi, "Negeri Van Oranje" akan bertengger mantap di puncak daftar saya untuk film Indonesia terbaik 2015. Sayang, kegagalan memanfaatkan potensi justru membuatnya jadi salah satu kekecewaan terbesar tahun ini. This movie could've been better. This movie could've been amazing.
Belum ada Komentar untuk "Negeri Van Oranje (2015)"
Posting Komentar