Jigsaw (2017)

Saw franchise is all about shock value. Tempat penonton berharap dikejutkan oleh perangkap mematikan penghasil gore berlimpah serta twist nihil logika. Dengan kata lain, media escapism sempurna. Ada formula paten yang terbukti ampuh menarik penggemar, tapi timbul pula kesadaran memberi modifikasi guna menghembuskan angin segar. Alhasil ditunjuklah tim baru. Kursi sutradara ditempati The Spierig Brothers (Daybreakers, Predestination), sementara Josh Stolberg dan Peter Goldfinger menulis skenario. Hasilnya ironis, sempat punya working title Saw: Legacy, Jigsaw justru merusak warisan pendahulunya.

Modifikasi salah arah terpampang semenjak momen pertama. Ketimbang gempuran perangkap brutal, filmnya menentukan action-oriented minim tensi berisi kejar-kejaran polisi dan kriminal berjulukan Edgar Munsen (Josiah Black). Edgar menyiratkan dirinya tengah terjebak dalam permainan Jigsaw, meski John Kramer (Tobin Bell) telah tewas 10 tahun lalu. Di suatu wawancara, The Spierig Brothers menyatakan Jigsaw takkan seganas installment lawasnya. Kekeliruan yang terbukti pada pembuka, kemudian berlanjut ketika perangkap perdana karenanya muncul. Lima korban dirantai dalam satu ruangan dan harus melepaskan diri sebelum gergaji mesin memotong badan mereka.
Perangkap itu terkesan malas lantaran dua alasan. Pertama, kemiripan dengan salah satu permainan Saw II. Kedua, resiko minim yang mesti ditempuh semoga lolos. Tidak ada penggalan badan perlu dikorbankan, hanya darah secukupnya. Bahkan dikala nyawa pertama melayang, penonton urung diberi kesempatan menyaksikannya. Terkait gore, hanya ada dua momen bisa tampil menarik. Sayangnya, salah satu terpangkas gunting sensor, satu lagi gres hadir di penghujung. Perangkap "hujan benda tajam" cukup intens, namun lagi-lagi dampaknya terlalu jinak. Untuk apa menjatuhkan puluhan senjata bila korban cuma mengalami luka bacokan ringan? Jigsaw adalah torture porn yang pemalu.

Sejak film kedua, Saw beralih dari horor psikologis brutal menjadi murni suguhan penyiksaan. Walau demikian, konflik batin selalu mengiringi kondisi dilematis tatkala korban dipaksa berkorban demi bertahan hidup. Situasi itu menggiring ketegangan penonton yang didorong berandai-andai "apa yang saya lakukan kalau mengalami hal serupa?". Jigsaw juga melucuti kekuatan itu, di mana beberapa permainan khususnya di awal durasi tak menuntut pengorbanan serupa, atau gagal membawa penonton memahami harga yang harus dibayar jawaban sanksi buru-buru. Ujian penuh budi kancil khas Jigsaw gres benar-benar terasa ketika John Kramer menampakkan diri, yang turut menegaskan Tobin Bell masih mempunyai aura magis sebagai sang pembunuh berantai.
Seperti biasa, di luar permainan utama ada penelusuran misteri. Kali ini seputar penyelidikan Detektif Halloran (Callum Keith Rennie) yang melibatkan petugas forensik, Logan Nelson (Matt Passmore) dan asistennya, Eleanor (Hannah Emily Anderson). Penyelidikan yang melibatkan konflik saling curiga, kemudian berujung twist yang berusaha mengkreasi ulang kejutan mencengangkan selaku ciri franchise ini, tetapi tidak berhasil mencapai tujuan disebabkan familiaritas dengan salah satu film sebelumnya. Apabila anda penggemar Saw, atau setidaknya sudah menonton semua judulnya, gampang menebak arah alurnya. Masalahnya, twist dalam Saw adalah jenis yang mementingkan efek kejut daripada kejelian menebar benih. 

Keliru dalam menentukan mana yang perlu diubah dan dipertahankan ialah kekurangan terbesar Jigsaw. Akibatnya fatal. Kerinduan pasca enam periode halloween diisi penghasil kantuk berjulukan Paranormal Activity urung terobati. Tatkala lagu tema ikonik Hello Zepp buatan Charlie Clouser pun tidak terdengar ibarat biasa, terang ada kekeliruan akut dalam Jigsaw yang layak disandingkan bersama Saw V dan Saw 3D sebagai titik nadir franchise-nya. 

Belum ada Komentar untuk "Jigsaw (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel