The Finest Hours (2016)

"The Finest Hours" menuturkan cerita faktual wacana misi evakuasi bersejarah para penjaga pantai terhadap awak kapal SS Pendleton pada 18 Februari 1952. Dianggap salah satu misi evakuasi paling spektakuler alasannya ialah hanya bermodalkan satu life boat kecil, empat orang kru penjaga pantai bisa menerobos angin kencang raksasa dan menyelamatkan 33 awak SS Pendleton. Poin utama dari cerita tersebut ialah keberanian regu penyelamat yang tidak ragu mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan lebih banyak manusia. Sebagai sebuah film, wajib hukumnya bagi "The Finest Hours" menciptakan perasaan penonton tergerak menyaksikan usaha Bernard Webber (Chris Pine) beserta kru-nya. Mungkin cheesy, tapi saya tidak menyangka film ini bakal menjadi 117 menit membosankan.

Guna menghadirkan ketegangan serta pergolakan emosi, naskah film yang mengadaptasi buku berjudul sama karya Michael J. Tougias dan Casey Sherman bekerjsama masih mengikuti pakem standar. Narasi awal dipecah menjadi dua, seputar kehidupan Bernard Webber dan terjadinya kecelakaan pada SS Pendleton dengan fokus terbesar diberikan pada Ray Sybert (Casey Affleck). Webber dikisahkan menjalin asmara dengan Miriam (Holliday Grainger) dimana keduanya berniat segera melangsungkan pernikahan. Hubungan ini dibutuhkan bisa memunculkan kepedulian penonton pada Webber tatkala ia mempertaruhkan nyawa di tengah laut. Sedangkan perjalanan menembus ombak ganas dan kehancuran SS Pendleton dibentuk guna membangun ketegangan.
Seharusnya film ini mencar ilmu dari bagaimana Michael Bay menghantarkan "Armageddon". Tentu saja cheesy, tapi tidak bisa dipungkiri Bay bisa menyuguhkan ketegangan juga sisi patriotisme menggetarkan (baca: berlebihan). Craig Gillespie selaku sutradara terkesan clueless dalam menangani sequence berhiaskan CGI masif. Gillespie hanya berusaha menggambarkan ombak seganas mungkin, gemuruh sekeras mungkin, juga momen sekacau mungkin dalam tiap frame. Beberapa adegan memang breathtaking, menyerupai dikala SS Pendleton terbelah menjadi dua, tapi sisanya, saya tidak tahu apa yang tengah terjadi. Semua terlampau kacau dan penuh. Belum lagi editing super cepat untuk adegan berisi sesuatu berkecepatan tinggi (ex: rantai lepas, kapal bocor) makin menyulitkan saya mencerna film ini.

Gillespie terlalu ingin mengakibatkan "The Finest Hours" realistis, sehingga disusunlah pengadeganan bercahaya minim dan guyuran air dimana-mana. Seperti karakternya, saya kesulitan melihat satu kejadian di layar. Tanpa tahu apa yang bekerjsama terjadi, maka tidak mungkin merasa terlibat dengan kisahnya. Kegagalan meghadirkan dinamika emosi masih ditambah oleh minimnya kreativitas bernarasi Gillespie. Jalannya alur sangat repetitif, dimana kita diajak melihat usaha Webber dan Sybert secara bergantian, sambil sesekali menyelipkan Miriam yang mengkhawatirkan sang kekasih. Begitu seterusnya dengan tiap sequence didominasi kekosongan tanpa rasa. 
Ketiga huruf utamanya juga gagal memberi alasan kenapa penonton harus peduli pada mereka. Chris Pine bukan pemain film bermodalkan kharisma diatas rata-rata, sehingga dikala disini ia lebih banyak menghabiskan waktu berdiri mengemudikan kapal, tokoh Webber pun tak memberi kesan sedikitpun. Holliday Grainger telah berusaha menyuntikkan emosi pada sosok Miriam, tapi menjadi percuma alasannya ialah saya tidak mencicipi kekhawatiran serupa teruntuk Webber. Tersisa Casey Affleck untuk mengatrol intensitas. Dia tidak buruk, hanya saja, menyerupai yang kita tahu Casey bukanlah leading man untuk tipikal film menyerupai ini. Gaya akting serta huruf Sybert yang ia perankan cenderung pasif, gagal bersumbangsih memberi nyawa pada dinamika alur.

Harus diakui kemasan visual "The Finest Hours" cukup memikat dan bisa sedikit menyelamatkan film ini, apalagi jika anda menyaksikannya di layar yang lebih lebar (Starium, SphereX, IMAX). Namun sebagai cerita usaha penuh keberanian, saya tidak merasa dilibatkan lebih jauh, sehingga pergolakan emosi pun tak bisa dihadirkan. Ditambah pengemasan yang awut-awutan pula repetitif, "The Finest Hours" is a very boring two hours. And no, this isn't fine at all.

Belum ada Komentar untuk "The Finest Hours (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel